BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Jumat, 18 Desember 2009

Keadilan Multirasa dan Mahal Mendapatkannya

Keadilan Multirasa dan Mahal Mendapatkannya
* Oleh : Ayu Humairoh

Keadilan memang multirasa, seperti permen nano-nano. Kadang terasa pahit, manis, atau justru asam. Semua tergantung pada subjek yang menilai dan mengalaminya.
Bagi yang diuntungkan tentu akan mengecap manisnya hukum, begitu pula sebaliknya. Rasa asam keadilan di negeri ini setidaknya telah dirasakan Nenek Minah, pencuri tiga buah Kakao, dua pencuri semangka yaitu Basar Suyanto dan Kholil, serta Prita Mulyasari.
Bagi rakyat jelata seperti mereka, wajah hukum begitu beringas. Menghujam tanpa memedulikan rasa keadilan.
Nenek Minah, warga Banyumas, Jawa Tengah, divonis 1,5 bulan kurungan dengan masa percobaan 3 bulan akibat mencuri tiga buah kakao seharga Rp2.100. Beban psikologis juga harus ditanggung nenek berusia 65 tahun itu karena harus berurusan dengan aparat penegak hukum.
Kisah serupa juga dialami dua warga Kediri, Jawa Timur, Basar Suyanto dan Kholil. Keduanya terpaksa berurusan dengan polisi karena kedapatan mencuri sebuah semangka. Keduanya sempat merasakan pengapnya ruang tahanan, sebelum akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Kediri. Keluarga Basar pun mengaku sempat ditipu anggota polisi membayar Rp1 juta agar kasusnya dihentikan.
Seorang ibu rumah tangga yang curhat mengenai buruknya layanan RS Omni Internasional juga harus berurusan dengan aparat penegak hukum, karena dituduh melakukan pencemaran nama baik.
Adalah Prita Mulyasari yang hingga kini masih harus menjalani proses hukum. Kabar terbaru, ibu dua anak itu oleh Pengadilan Tinggi Banten diputus bersalah dan wajib membayar denda sebesar Rp204 juta.
Pada waktu hampir bersamaan, Anggodo Widjojo justru mendapatkan perlakukan istimewa dari aparat penegak hukum. Dia tetap bebas berkeliaran meski terindikasi kuat merekayasa kriminalisasi dua pimpinan KPK. Indikasi itu didukung adanya transkrip rekaman yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Enam tuduhan pelanggaran hukum, termasuk salah satunya tuduhan pencemaran nama baik Presiden, pun tak mampu menyeret adik koruptor Anggoro Widjojo itu ke balik jeruji besi. Besarnya tekanan dari publik seolah tak didengar aparat penegak hukum. Justru dengan alasan keamanan, polisi malah mengawal Anggodo selama 24 jam nonstop.
Manisnya wajah hukum juga dinikmati Ketua DPRD Jawa Tengah periode 1999-2004 Mardijo yang terbukti menilep duit APBD sebesar Rp14,8 miliar. Atas kejahatannya itu, Mardijo hanya dihukum percobaan dua tahun penjara.
Sudah menjadi rahasia publik, mayoritas rakyat Indonesia lebih memilih jalan damai apabila bersinggungan dengan kasus hukum. Pertimbangannya sederhana, lebih ekonomis baik dari waktu dan biaya.
Pengalaman telah mengajarkan agar tidak mencari keadilan di lembaga peradilan. Pasalnya, untung tak dapat diraih dan malang tak bisa ditolak. Niat hati mencari keadilan, tapi bisa-bisa malah menjadi pesakitan.
Bagi yang belum pernah berurusan dengan aparat penegak hukum, tentu akan mengikuti arus mayoritas, karena sepanjang hayatnya senantiasa mendapat cerita serupa. Bahwa mencari keadilan di negeri ini tidak murah serta berisiko tinggi.
Situasi di atas, tentu muncul bukan tanpa sebab. Mahalnya ongkos mencari keadilan serta besarnya energi dan stamina yang dibutuhkan dipicu beberapa faktor. Salah satunya adalah berkeliarannya para markus alias cakil di berbagai sudut lembaga penegak hukum.
Fatalnya, profesi markus dan cakil seringkali diperankan oknum aparat penegak hukum itu sendiri. Anggodo yang diduga sebagai orang yang berprofesi sebagai markus, merupakan gunung es semata. Sejatinya di berbagai sudut lembaga penegakan hukum sudah dikapling para markus lain.
"Mereka saja cara masuknya sudah dengan menyuap, lalu apa yang bisa diharapkan setelah menjadi polisi atau jaksa”. Selanjutnya, adalah prosedur hukum yang rigid dengan pengadilan sebagai muaranya. Bila bersinggungan dengan hukum, pidana dan perdata, maka proses hukum yang harus dilalui adalah penyidikan Polri, Kejaksaan, lalu pengadilan.
Dari masa pelaporan ke polisi atau dimulainya proses pemeriksaan hingga berkas dilimpahkan ke kejaksaan membutuhkan waktu yang tidak pendek. Bisa berbulan-bulan, tergantung kinerja para penyidik. Belum lagi oleh penyidik Kejaksaan berkas kasus bisa saja dikembalikan karena dianggap belum lengkap.
Proses selanjutnya adalah pengadilan dengan segala perangkat dan prosedurnya. Alhasil hanya individu yang memiliki "stamina" dan stamina tinggi yang bisa mencari keadilan. Proses yang panjang pasti menyita waktu dan biaya.
Tidak heran apabila para terdakwa miskin seperti Nenek Minah, Basar Suyanto, dan Kholil tak berkutik ketika duduk di kursi pesakitan. Mereka tidak hanya lemah secara finansial, tapi juga pengetahuan.
Hukum acara di pengadilan tentu bukan sesuatu yang mereka pahami, atau bahkan pernah dikenal. Di sisi lain, mustahil para terdakwa menyewa jasa pengacara, karena untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja sudah susah.

* Penulis: Seorang Mahasiswi Semester 1 Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Koin Untuk Prita Mulyasari

Koin Untuk Prita Mulyasari
* Oleh : Ayu Humairoh

Jika ada orang yang begitu sedih sekaligus bahagia pada hari-hari ini, salah satu orang itu adalah Prita. Prita, seorang ibu yang sedang berpolemik dengan Rumah Sakit Omni Internasional Jakarta gara-gara dia mem-posting email tentang pelayanan buruk rumah sakit itu, diancam denda Rp 204 juta dalam putusan perdata kasus pencemaran nama baik.
Uang 204 juta bagi seorang karyawan biasa seperti Prita tentu sangat besar jumlahnya, belum tentu dia punya uang sebanyak itu, dan tentu saja dia tidak sanggup untuk membayarnya. Namun, masyarakat pun terusik dengan kasus ini, yang dianggap sebagai sebuah bentuk rasa ketidakadilan. Maka, entah siapa yang memulainya, tiba-tiba ada saja yang mempunyai ide untuk mengumpulkan koin uang receh untuk Prita. Gerakan yang dinamakan “koin untuk Prita” itu mengalir seperti air bah. Masyarakat, mulai dari anak-anak, remaja, orangtua, hingga pemulung pun rela menyisihkan uangnya untuk mencukupi denda 204 juta itu. Gerakan mengumpulkan koin itu akan ditutup tanggal 14 Desember yang lalu, namun dipercaya jumlah yang terkumpul akan jauh lebih besar dari 204 juta, sebab para pengusaha, anggota dewan, dan anggota DPD, dan masih banyak lagi, ikut turun tangan memberi bantuan dalam jumlah puluhan juta. Pengusaha Fahmi Idris saja menyumbang 70 juta.
Nah, sekarang kasus ini sedang dibawa ke Mahkamah Agung karena Prita melakukan kasasi. Jika sangsi denda ini disetujui oleh MA, maka Prita tidak perlu resah sebab uang 204 juta bakal tersedia, bahkan lebih. Jika sangsi denda dibatalkan MA, maka uang yang terkumpul itu tetap akan diberikan kepada Prita. Sebagian besar warga masyarakat yang menyumbang koin serta yang memberikan dukungan moral kepada Prita tidak kenal siapa itu Prita. Mereka hanya tahu dari media saja. Apa yang menyebabkan mereka mau memberikan uangnya untuk membantu Prita? Rasa ketidakadilanlah yang menyebabkan dukungan itu mengalir seperti air bah. Masyarakat melihat seorang ibu rumah tangga tidak berdaya melawan sebuah rumah sakit mewah yang membawa kasus ini ke pengadilan. Prita memang tidak sepenuhnya benar, dia juga ada kesalahan karena dia tidak menyadari bahwa sebuah email jika masuk ke milis, tidak ada jaminan email itu akan beredar di milis itu saja. Anggota milis bisa saja mem-forward email itu ke milis lain karena isi email tersebut dianggap sebagai sebuah fakta menarik yang perlu diketahui orang lain. Seperti kita sendiri, yang kadang-kadang menerima email dari sebuah milis, lalu karena email ini dianggap menarik, tanpa pikir panjang email tersbeut kita teruskan ke milis lain. Karena itu, memang penting dibuat aturan etika dalam sebuah milis bahwa setiap email di dalam milis bersifat tertutup dan tidak dibenarkan untuk diteruskan ke orang yang bukan anggota milis. Inilah fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini, yaitu derasnya dukungan moral dan materil dari masyarakat kepada orang-orang yang mengalami ketidakadilan masalah hukum. Masyarakat tidak kenal siapa orang-orang yang “tertuduh” itu, namun masyarakat berpihak dan mendukung mereka. Masih ingat kasus Bibit-Chandra kan? Jutaan fesbuker melakukan gerakan moral dengan memberikan dukungan kepada kedua orang ini (dan KPK) melalui media facebook. Ini belum termasuk ratusan ribu orang yang melakukan aksi demo untuk mendukung mereka. Padahal, sebagian besar pendukung tidak kenal siapa itu Chandra, siapa itu Bibit. Orang mendukung Chandra dan Bibit karena kedua orang ini dianggap “korban” kesewang-wenangan kepolisian, dan masyarakat sudah terlanjur mempunyai stigma negatif kepada polisi disebabkan pengalaman buruk yang mereka alami setiap berurusan dengan polisi. Dalam waktu yang bersamaan muncul pula kasus nenek Minah yang dituduh mencuri tiga buah kakao. Kasus ini dibawa ke pengadilan oleh perusahaan penanam kakao, dan nenek Minah dijatuhi hukuman kurungan (namun hukuman kurungan tidak perlu dijalani karena nenek Minah sudah tua dan dianggap tidak akan melarikan diri). Warga masyarakat yang simpati dengan kasus nenek Minah kembali merasa terusik dengan ketidakadilan ini. Mereka mendukung nenek Minah dan mengumpulkan uang receh untuk membantu nenek itu. Kecaman mengalir kepada perusahaan penanam kakao, sebab mengapa kasus yang sepele itu perlu dibawa ke pengadilan? Tidakkah diselesaikan secara kekeluargaan saja? Dimana rasa keadilan kepada orang-orang kecil itu? Masyarakat menilai polisi begitu cepat bereaksi jika kasus-kasus hukum menimpa orang kecil, namun terkesan lamban jika kasus hukum itu melibatkan orang penting. Itulah orang Indonesia, mudah berempati, namun mudah pula melupakan kembali peristiwa yang telah terjadi. Ada banyak peristiwa drama yang akan terus terjadi di negeri ini, dan seharusnya setiap peristiwa dijadikan pelajaran untuk tidak terulang dan terulang lagi. Bangsa ini perlu belajar dari kisah-kisah yang terjadi di masa lalu.
* Penulis: Seorang Mahasiswi Semester 1 Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Senin, 07 Desember 2009

Kemiskinan awal dari kebodohan

Ada sebuah pertanyaan yang sangat membingungkan tentang masalah ini. Mana yang terlebih dahulu lahir antara kebodohan dan kemiskinan. Atau mana yang menjadi sebab akibat, kebodohan awal dari kemiskinan ataukah kemiskinan awal dari kebodohan?. Munkin ini dapat sedikit menjawab pertanyaan di atas, kalau menurut pendapat saya kemiskinan lah yang merupakan awal dari kebodohan. Karena kalau di Indonesia ini masih banyak masyarakat yang menderita kemiskinan yang mengakibatkan banyak anak Indonesia yang tidak dapat meneruskan sekolahnya yang akhirnya banyak anak Indonesia yang mengalami kebodohan. Salah satu cara untuk menghilangkan kemiskinan dan kebodohan, yaitu pendidikan, karena pendidikan merupakan salah satu sarana yang dapat menunjang untuk memberantas kemiskinan dan kebodohan, tetapi pendidikan di Indonesia sangat amatlah buruk menurut saya. Karena sekarang ini pemerintah lebih memerhatikan masalah poitik saja, munkin kalau menurut saya terkadang masalah pendidikan hanyalah dijadikan tameng pada saat pemilu saja, mereka mengatakan bahwa akan memperbaiki system pendidikan yang ada, tetapi kenyataannya setelah mereka dipilih mereka mengabaikan semua janjinya. Sepengetahuan saya sejak sekak tahun 1997, subsidi pendidikan dikurangi atau dipotong dan akibat dari pemotongan tersebut biaya pendidikan menjadi mahal saat ini. Kerena masalah ini juga lah banyak masyarakat yang tidak dapat menikmati bangku sekolah. Tentunya ini juga dapat berakibat kepada menurunnya kualitas sumber daya manusia di Indonesia ini yand akhirnya banyak masyarakat Indonesia yang menjadi seorang buruh, yang penghasilannya tidak menentu. Salah satu faktor lagi yang dapat menyebabkan kemiskinan,yaitu tindakan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat tinggi negri ini. Karena korupsi tersebutlah banyak rakyat yang terlantar karena sebagian uang yang mereka koruptor itu adalah hak rakyat. Harusnya uang yang mereka korup itu dapat dipergunakan untuk memperbaiki seluruh aspek yang dapat menunjang untuk memperbaiki siste pendidikan dan perekonomian. Banyak parapejabat yang korup tetapi mereka tidak dapat hukuman yang setimpal bahkan jika kereka tertangkap mereka hanya dikenakan denda untuk membayaran kerugiannya tetapi kenyataannya denda tersebut tidak sebesar uang yang mereka korup,apakah itu adil?, kalau menurut saya itu sangat amat tidak adil. Belum lagi fasilitas yang mereka dapatkan jika mereka tertangkap tidak seperti maling – maling ayam atau jemuran yang jika mereka tertangkap mereka harus merasakan pukulan-pukulan masyarakat terlebih dahulu bahkan di penjara pun mereka juga harus berurusan dengan pihak kepolisian lagi. Tapi apayang dialami koruptor iti sangat amat berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan oleh maling ayam diatas. Mereka tidak terkena pukulan masyarakat, malah merekadilindungi oleh para penegak hokum bahkan mereka bah artis yang yang sedang naik daun selalu dikelilingi oleh para wartawan. Dan dalam penjara pun mereka mendapat fasilitas yang sangat amat nyaman. Mungkin dasina`saya ingin mengunkapkan sedikit saran saya, agar hokum lebih di tegakkan lagi. Satu lagi agar para koruptor di kenkan denda yang setimpal, kalau bias semua harta mereka di ambil supaya mereka merasakan apa yang dirasakan oleh masyarakat kecil. Tantunya membahastentang masalah kemiskinan dan kebodohan tadi, pemerintah harus lebih memperbaiki sitem pendidikan yang ada, serta membuat biaya pendidikan menjadi murah agar dapt terjangkau oleh masyarakat menengah bawah. Ini mungkin bias di jadikan prospek kerja presiden lima tahun kedepan yang haru menjadi lebih baik lagi dalam berbagai aspek. Terutama dalam aspek pendidikan dan ekonomi tentunya. Kebodohan tidakdapat dibiarkan begitu saja, karena dengan kebodohan tidak ada rangsangan dalam system pergerakan ekonomi. Kualitasnya pun menjadi rendah sehingga dapat menyebabkan bangsa ini jatuh lebih dalam lagi kedalam kemiskinan. Dengan kebodohan jugalah bannsa kita tidak mampu untuk memanfaatkan potensi ekenomi yang kita miliki. Sehingga banyak potensi ekonomi yang terbengkalai. Parahnya lagi bangsa ini selalu mengambil jalan pintas supaya potensi yang dimiliki dimanfaatkan oleh pihak lain. Tentunya jalan pintas tersebut tidak akan memajukan masa depan bangsa Indonesia sendiri. Dan ini memperlahatkan bahwa tidak ada pertanggung jawaban untuk mempertahankan potensi yang dimiliki oleh Negara kita. Kerena kebodohan yang dialami oleh anak bangsa akhirnya mereka tidak dapt membantu mengolah potensi perekonomian yana ada di Indonesia ini. Bias di lihat sebagian anak bangsa hanya menjadi penagaguran dan tentunya tidak dapat menikmati pendidikan yang layak. Inilah yang harus dibenahi oleh pemerinta

Minggu, 06 Desember 2009

Indonesia Tak Butuh Iblis

Indonesia Tak Butuh Iblis
* Oleh: Ayu Humairoh
Dalam kehidupan politik dan kebudayaan di Indonesia sering disebut-nyebut kata iblis, sebagaimana sering juga disebut-sebut kata setan, malaikat, dajjal, atau hantu, monster, gendruwo, dll.
Orang menyebut iblis atau setan biasanya tidak untuk menuding iblis atau setan itu sendiri, melainkan untuk memberi gelar kepada sesama manusia. Pada hakekatnya hanya kelembutan pandangan Allah yang paling mampu dengan detail menakar berapa prosentase kefir’aunan hambaNya. Adapun manusia, sejauh-jauh prestasinya hanyalah perjuangan untuk berendah hati di dalam kesadaran bahwa setiap hamba Allah yang bernama manusia memiliki potensi kefir’aunan dan potensi ke-Musa-an atau ke-Muhammad-an di dalam dirinya masing-masing. Dengan kata lain, Fir’aun, Musa, Muhammad, Malaikat dll. bisa kita pahami sebagai potensialitas kejiwaan pada diri manusia, dan tidak harus merupakan oknum atau pribadi. Ketika Musa diperintahkan oleh Allah agar mendatangi Fir’aun untuk menanyakan apakah RajaLela itu mau membersihkan diri atau tidak bisa kita maknai bahwa potensi Musa kita mendatangi potensi Fir’aun kita sendiri untuk menyampaikan tawaran
gratis dari Allah itu. Akan tetapi bisa jadi hasil penilaian kita tidak seratus persen sama dengan al-lathif, Yang Maha Lembut itu. Yang kita ketahui hanya satu, yang tak kita ketahui tak terhingga jumlahnya. The real judge adalah Allah swt. Kita mungkin tidak pernah siap untuk melihat dan menerima kenyataan bahwa seseorang yang ‘kita nikmati dalam kebencian’ dan kita sebut iblis, ternyata bisa juga ingin memperbaiki diri. Lebih tidak siap lagi membayangkan bahwa ia bertobat. Kita memerlukan orang jahat tetap sebagai orang jahat, demi kelegaan hati kita. . Tetapi tidak saya persoalkan apakah pemakaian kata-kata iblis dll. itu berangkat dari hubungan-kesadaran, sampai ke etimologi dan teologi, ataukah sekedar pinjam istilah. Sebagaimana Pancasila dan UUD-45 menyebut kata ‘Tuhan’ dan ‘Allah’ bisa jadi sekedar oper idiom, karena kemudian di dalam praksis kehidupan bernegara kita tidak lagi penting apakah Tuhan dan Allah dijadikan rujukan utama atau tidak bagi kemungkinan makhraj (solusi) dari masalah-masalah yang menimpa. Yang paling menarik kali ini adalah bahwa ternyata kita di Indonesia sama sekali tidak butuh iblis.
Cobalah kita kuliti sejumlah perbedaan antara kita dengan iblis, umpamanya. Sebagaimana beda kita dengan binatang sangat jelas: kalau macan sudah makan kambing dan kenyang, maka ia bisa tidur damai dengan ratusan kambing, sampai ia lapar kembali dan memakan hanya seekor lagi seperti di-sunnah-kan olehNya.
Sementara kita, meskipun sudah punya lima proyek besar, masih terus sanggup mengambil puluhan proyek lain. sehingga hancurlah Orde Baru. Manusia dipinjami kemerdekaan dan demokrasi, dan ia mengerjakannya belum tentu dengan kedewasaan dan nurani kemanusiaan, malah kebanyakan dengan nafsu dan rasa ingin memiliki yang tak ada batasnya. Semoga rencana-rencana kekuasaan, melalui sekian banyak partai-partai politik, tidak bermuatan hal semacam itu. Kalau orang bertanya: partai politik itu ingin kebaikan atau kemenangan? Ataukah ingin kemenangan untuk memperjuangkan kebaikan? Kalau yang terasa dominan adalah nafsu untuk menang, maka adanya muatan semacam itu sangat kita khawatirkan.
Semoga kemenangan parpol ialah kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Kalau kemenangan parpol adalah hanya kemenangan parpol itu sendiri, akan tetap celakalah nasib rakyat.
Keserakahan, nafsu, rasa serba tak cukup, watak api. itu jelas watak utama iblis yang diajarkan kepada manusia. Bahkan niat baikpun bisa menjelma jadi napsu.
Cukup banyak bukti bahwa di negeri ini kita tak memerlukan ajaran iblis lagi untuk ‘sekedar’ berlaku rakus kepada dunia. Sehingga, sebagaimana Adam yang jatuh derajatnya dari surga ke bumi, kitapun sama jatuhnya kehormatan kita, serta kebangsaan kita dari kemewahan ke krismon dan kristal (krisis total). Iblis tidak pernah merasa dirinya benar, dirinya baik, dirinya suci. Sementara kita memiliki kecenderungan yang sangat besar untuk merasa benar, merasa baik dan merasa suci, sehingga orang lain yang kita tuduh harus bertobat, itupun kita larang ia bertobat. Padahal kita ketakutan setengah mati kalau ia tidak bertobat sehingga mengamuk.
Dalam hal melarang manusia bertobat, kita sama dengan iblis. Tapi dalam hal memahami konsep tobat, iblis unggul dari kita. Kita tidak tahu bahwa pertobatan kepada Allah dipersyarati oleh keberesan masalah dengan sesama manusia. Artinya kalau punya hutang, harus bayar dulu, kalau bersalah, dihukum dulu oleh manusia, baru Allah membuka pintu ampunannya. Kita tidak tahu itu, sedang iblis tahu persis.
Iblis, sesudah menggoda manusia dan menjerumuskannya agar dibakar oleh kobaran api dari dalam nafsunya sendiri, berkata kepada Tuhan: “Wahai Tuhan, sesungguhnya aku sendiri takut kepadaMu”. Sementara pada kita sangat sedikit indikator bahwa kita takut kepada Tuhan. Kita berani mengabaikan pembelaan Tuhan atas rakyat kecil. Kita bisa mendustai mereka berpuluh tahun.
Kita bahkan sanggup menyalurkan bantuan makanan kepada rakyat sambil mencopetnya. Kita tega mengumum-umumkan obsesi pribadi kita akan kekuasaan di depan rakyat yang sangat mengalami kesulitan hidup. Kita bisa dengan ringan menutup telinga bahwa bagi rakyat hanya tiga hal yang prinsip: hidup aman, sembako murah, bisa menyekolahkan anak. Tentang presidennya siapa, silahkan mau siapa saja. Dalam hatinya rakyat berpedoman: yang penting bukan ‘siapa’nya, melainkan apa produk positifnya untuk kesejahteraan rakyat. Mohon bikin metodologi riset atau pendapat yang bertanggung jawab terhadap kandungan substansial kemauan rakyat banyak, bukan hanya omongan beberapa puluh orang di sekitar kantor kita. Iblis dan setan, sesombong-sombongnya mereka, setakabur-takaburnya mereka, seratus persen sadar bahwa mereka melakukan kejahatan dan perusakan. Mungkin karena itu tidak kepada iblis dan setan, melainkan kepada manusia. Manusia sanggup menjadi pemimpin karena modal utamanya adalah rasa bersalah telah berbuat zalim, belum bisa menolong orang lain, sehingga ia senantiasa mendorong diri untuk berbuat sebaik-baiknya. Modal utamanya adalah sanggup merasa bodoh, tidak pinter, tidak unggul dari siapapun. sehingga ia selalu berendah hati untuk belajar.
Tidak ada ceritanya masyarakat iblis dan setan bertengkar satu sama lain, sebagaimana kita manusia selalu dan terus menerus bertengkar memperebutkan khayal masing-masing, mempertahankan benernya sendiri (kefir’aunan) terus menerus, memerlukan kehinaan saudaranya sendiri untuk mendapatkan kejayaan, membutuhkan kehancuran sesama manusia untuk memperoleh yang ia sangka kehormatan.
Alhasil Indonesia benar-benar tidak butuh iblis atau setan, sebab potensialitas keiblisan, kesetanan dan kefir’aunan kita, pada sejumlah hal, sudah melebihi setan, iblis dan fir’aun yang asli.
* Penulis: Seorang Mahasiswi Semester 1 Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

KTP Elektronik

KTP Elektronik
*Oleh: Ayu Humairoh

KTP Elektronik beres 2013. Pemerintah terus membenahi Sistem informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).Menteri Dalam Negeri(Mendagri)Gamawan Fauzi menargetkan KTP Elektrnik serentak digunakan pada 2013. Untuk mewujudkannya Nomor Induk Kependudukan (NIK) nasional akandibagikan pada Desember 2011.
Pembagian NIKtersebut merupakan tahap awal pengadaan KTP Elerktronik. Nomor tersebut adalah nomor yang digunakan secara nasional.Dengan adanya NIK nasional itu, diharapkan tidak ada lagi NIK ganda dan NIK aspal alias asli tapi palsu.
Untuk memberantas praktik pemalsuan kartu tanda penduduk (KTP) diKabupaten Serang, Pemerintah Kabupaten Serang akan memberlakukan KTP elektronik pada tahun 2010 mendatang. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kab Serang tengah mempersiapkan teknis pelaksanaannya melalui pendataan penduduk Kabupaten Serang.Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kab Serang, sedang mempersiapkan teknis pelaksanaan KTP elektronik yang ditargetkan akan diluncurkan pada 2010 mendatang. Upaya ini dilakukan untuk mencegah pemalsuan KTP yang bisa digunakan untuk melakukan kegiatan kriminal atau aksi terorisme. Selain itu, penerapan KTP baru ini sesuai amanat dari Peraturan Presiden (Perpres) No 26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP Berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK). Dalam Perpres itu disebutkan agar seluruh daerah mempercepat pelaksanaan KTP elektronik.
Untuk memberantas praktik pemalsuan kartu tanda penduduk (KTP) di wilayah DKI, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI akan memberlakukan KTP elektronik pada tahun 2011 mendatang. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta tengah mempersiapkan teknis pelaksanaannya melalui pendataan penduduk DKI Jakarta. Selain itu, Pemprov DKI Jakarta menyatakan siap dijadikan pilot project (proyek percontohan) dalam implementasi single identity number (SIN) atau nomor identitas tunggal.
Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta, Franky Mangatas Panjaitan, mengatakan pihaknya sedang mempersiapkan teknis pelaksanaan KTP elektronik yang ditargetkan akan diluncurkan pada 2011 mendatang. Upaya ini dilakukan untuk mencegah pemalsuan KTP yang bisa digunakan untuk melakukan kegiatan kriminal atau aksi terorisme. Selain itu, penerapan KTP baru ini sesuai amanat dari Peraturan Presiden (Perpres) No 26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP Berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK). Dalam Perpres itu disebutkan agar seluruh daerah mempercepat pelaksanaan KTP elektronik.
Pemberlakuan KTP elektronik ini dapat mengurangi terjadinya penyimpangan kartu identitas seperti pemalsuan KTP atau KTP ganda. Jika masih ada yang melanggar, akan diberikan sanksi sesuai dengan UU No 23 tahun 2006 tentang Administrasi dan Kependudukan,” Berdasarkan aturan UU No 23/2006, pasal 89. Warga yang tidak mempunyai KTP dikenakan denda administratif sebanyak Rp 1 juta bagi WNI dan Rp 2 juta bagi penduduk orang asing. Sementara jika mengaku mempunyai KTP namun tidak membawanya saat bepergian maka didenda Rp 50 ribu.
Kemudian, pasal 93 berbunyi setiap penduduk yang dengan sengaja memalsukan surat dan atau dokumen kepada instansi pelaksana dalam melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting dapat dipidana penjara maksimal enam tahun dan atau denda paling banyak Rp 50 juta rupiah.
Penggunaan NIK secara nasional itu demi keamanan Negara dan perbaikan kualitas demokrasi di Indonesia. Sebab, bercermin pada pilpres dan pemilu legislative lalu, NIK menjadi biang kisruh daftar pemilihan tetap (DPT). Banyak nama ganda dan penduduk tak cukup umur memiliki hak pilih. Karena itu, data di NIK bakal komprehensif. Antara lain,sidik jari dan status kependudukan. Satu NIK hanya untuk satu penduduk
Pelaksanaan KTP elektronik di DKI Jakarta itu akan bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat untuk memberikan data penduduk yang sebenarnya agar tidak terjadi penyimpangan. Sesuai petunjuk kependudukan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri), setiap daerah mempunyai nomor register, maka akan diketahui KTP itu asli atau palsu.
KTP elektronik digunakan untuk memperbaiki data kependudukan yang ada. Sementara untuk mencegah KTP palsu itu bisa dicegah dengan datang sendiri ke kelurahan jika ingin membuat kartu identitas tersebut. Pembuatan KTP gratis. Tidak ada pungutan jika memang pemohon datang langsung ke kelurahan.
Setelah NIK rampung atau selesai Departemen Dalam Negeri(Depdagri) akan memulai pengadaan KTP Elektronik. KTP biometric itu memiliki chip dan berpengaman. Penggunaannya beragam. Antara lain untuk penggunaan fasilitas-fasilitas pemerintahan, perbankan, dan data mobilitas penduduk.
Setahun atau dua tahun setelah NIK selesai, KTP Elektronik baru bisa dibagikan. Selain itu KTP Elektronik juga bisa digunakan untuk mendukung agenda pemilihan umum. Seperti di Jembrana, Bali, yang sudah memilih secara elektronik dengan hanya menggunakan KTP.
Desain KTP tersebut berupa KTP elektronik dengan memberikan kode tertentu yang berisi data orang tersebut. Fungsinya akan mirip dengan cara kerja kartu kredit atau kartu anjungan tunai mandiri (ATM) yang diterbitkan oleh bank.
Kartu tersebut jika dimasukkan dalam mesin ATM dengan kode pin, dan langsung dihubungkan dengan data keuangan yang dipunyai orang tersebut. Jika uang ingin diambil sesuai dengan jumlah uang ditabungan, maka transaksi bisa dilanjutkan. Tetapi kalau tidak sesuai, maka transaksi pasti ditolak.
Seperti itu salah satu metode yang akan kita tempuh, karena dengan kartu sistem ini seseorang dapat dikenal dan diketahui di mana dia tinggal serta sesuai atau tidak. Baik untuk check in di hotel dan mengurus tabungan di bank.
* Penulis: Seorang Mahasiswi Semester 1 Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

2012 kiamat???

2012 kiamat???
* Oleh : Ayu Humairoh

Kiamat 2012. Siapa yang bisa menjamin atau meprediksikan hal tersebut. Tidak satupun orang yang dapat mengetahui atau memiliki ilmu tentang kedatangan Hari Kiamat itu.
Dunia saat ini sedang tersihir dengan film 2012. Tak hanya di dunia tapi juga di Indonesia. Antrian panjang pun terjadi di bioskop-bioskop yang memutar film tentang kiamat yang melanda bumi, termasuk di Cilegon. Di Cilegon, ratusan orang harus rela antri berjam-jam. Seperti yang terlihat di Studio 21 Mall Ramayana Cilegon.
Film 2012 besutan sutradara Jerman Roland Emmerich ini mencuri perhatian publik karena temanya yang controversial KIAMAT ! Duh sapa sih yang gak penasaran dengan akhir dunia ini? Gimana sih visualisasinya?
Film ini bercerita mengenai bencana alam yang telah diprediksi oleh para ilmuwan (geologis) berupa gempa dengan skala diatas 9 richer yang menimbulkan tsunami di seluruh jagat bumi. Untuk mengantisipasi musnahnya manusia dari sapuan tsunami maka dibuatlah 7 bahtera besar. Siapa yang bisa masuk ke bahtera tersebut? Jelas dong yang berduit! Sementara di sisi lain terdapat seorang penulis Jackson Curtis berusaha menyelamatkan diri dan keluarganya dengan cara apapun walaupun itu harus menyelundup ke bahtera besar. Sebenarnya menurut saya film ini bukan film mengenai akhir bumi lho, tapi tentang bencana alam dalam skala besar. Akhir ceritanya, dunia gak kiamat. Karena masih ada manusia yang bisa selamat melanjutkan kehidupan di daratan baru, benua Afrika. Walau begitu untuk sound effect juga cara pengambilan gambarnya saya memberikan jempol. Momen ketika kota perlahan ludes ditelan gempa, atau tsunami mengintai di depan mata lumayanlah bikin deg-degan. Rasanya seperti diseret ke dalam film tersebut. Coba ada 3Dnya, weeeh kayaknya mantep deh!
Terlepas dari jalinan ceritanya yang buat saya biasa banget, saya mempunyai catatan pribadi setelah menyaksikan film 2012 ini. Ada moral value tentang pentingnya kebersamaan keluarga. Tentang mengampuni dan memaafkan, karena sungguh kita tidak tahu kapan ajal akan menjemput. Sakit sekali rasanya jika kita tidak bisa mengatakan “I love you or I am sorry” kepada orang-orang terdekat kita atau sekedar mengucapkan kata selamat tinggal kepada mereka. Kiamat itu rahasianya ALLAH SWT, mungkin di 2012, atau bahkan mungkin besok. Kita tidak tahu! Namun yang pasti hari itu akan datang. Timbul pertanyaan, apakah kita siap? Adegan dimana seluruh keluarga pasrah saling berpelukan saat tsunami menyerang menggetarkan hati saya. Apabila saya mengalami kejadian itu, pada saat tidak berdaya karena tidak ada lagi tempat aman atau daerah untuk menyelamatkan diri, apakah saya sudah siap? Apakah saya dapat tersenyum penuh keyakinan bahwa roh ini akan dijemput? Selagi masih ada waktu, saya ingin membenahi diri. Mohon maaf jika ada perbuatan atau perkataan saya yang pernah menyinggung hati. Yuk, mari bijaksana mempergunakan setiap detik yang ada untuk kebaikan sesama juga menyenangkan hati Pencipta kita.
Kapan dan bagaimana datangnya Kiamat itu hanya Allah SWT yang tahu, Kita hanya diberi tahu sedikit pengetahuan tentang tanda-tanda akan datangnya hari Kiamat itu dari Alquran. Kita tidak usah terlalu histeris membayangkan kiamat karena yang mengetahui kapan kiamat besar itu akan terjadi hanya Allah SWT.
Ada saja pihak yang memanfaatkan moment tersebut tanpa memperhatikan effect yang akan terjadi dengan menyajikan atau membuat film dengan tema “Kiamat 2012” dimana diperlihatkan kehancuran Dunia. Bagus jika semua orang yang telah menonton menjadi Taubat dan memperbaiki diri, nach jika tidak? Kiamat adalah kuasa Allah SWT, kita sebagi mahluknya mau berbuat apa?
Menurut saya seluruh umat Muslim tidak boleh mempercayai isi dari film "2012" itu. Alasannya, karena kiamat belum diketahui kapan datangnya. Dan kita harus yakin dan percaya dengan pandangan agama bukan film. Tidak perlu dipercayai tahayyul yang membicarakan penentuan hari kiamat. Allah SWT juga belum memberikan signal kapan akan terjadinya kiamat. Dan tak satupun manusia yang bisa mengetahui kapan hari kiamat tiba. Film itu tidak pantas untuk ditayangkan, karena dapat mempengaruhi pemikiran orang.
Kita sebagai orang Islam memang seharusnya mempercayai adanya hari kiamat. Namun, untuk kepastian terjadinya merupakan kuasa dari yang maha kuasa. Kepada kaum muslim untuk tidak mempercayai gambaran hari kiamat yang difilmkan sesuai dengan kalender Maya kuno yang meramalkan terjadinya bencana pada saat titik balik matahari di musim dingin tahun 2012.

Jadi untuk apa kita percaya pada bualan kaum yang notabenenya hanya sebuah ciptaan layaknya kita. Sungguh hanya Sang Penciptalah yang tahu tentang awal dan akhir, tentang ada dan tiada. Siapa yang takut mati? Padahal mati itu pasti dan hanya matilah jalan kita berjumpa denganNYA. Siapa yang ingin segera mati? Padahal waktu telah terbuang sia-sia. Khilaf, salah dan dosa ramah menyapa. Siapa yang ragu akan mati? Padahal maut siap menghampiri kapan saja, dimana saja dan siapa saja. Kiamat itu pasti. Mati itu pasti. Namun semua adalah rahasiaNYA. Kepastian-kepastian yang tersembunyi. Lantas apa yang bisa kita lakukan saat ini? Bertaubat. Tak terhitung lagi dosa-dosa yang telah tercipta, entah sengaja maupun tidak, entah sadar maupun tidak. Semua dosa yang melebur setelah tertempa 30 hari puasa, kembali menyapa di hari berikutnya. Sadarkah kita?? Lembaran putih pun memburam karena titik-titik noda. Mari bertaubat.. Tak sekedar taubat sambal tentunya. Tapi taubat nasuha, meninggalkan kesia-siaan dan tidak mengulanginya lagi. Memang berat, tapi mengingat bahwa usia itu rapuh, maka tak ada salahnya selagi kita masih bisa menghela nafas, kita instropeksi diri dan bertaubat. Tidak ada jaminan kita masih bernyawa esok hari. Perbanyak beristighfar. Daripada lisan hanya digunakan membual dan menggosip, mending dipakai untuk beristighfar. Ingat pula bahwa kita memiliki ladang dosa yang subur karena ketajaman lisan. Mendekatkan diri padaNYA. Selangkah saja kita menujuNYA, berlari-lari DIA menjemput dan menyambut kita. Saling menasehati dalam kebaikan. Jangan jadi si egois!! Bila mampu, tegurlah orang sekitar kita. Tak harus dengan kata membentak, memaksa maupun kasar. Bila dengan kata maupun sikap tidak ada daya, selipkan namanya dalam doa kita. Moga Alloh mengingatkan yang lupa dengan cara terbaikNYA. Entah detik setelah ini, menit setelah ini, jam setelah ini, hari setelah ini, minggu, bulan hingga tahun setelah ini, andai jatah usia masih tersisa. Maka syukurilah, bukan dengan hura-hura pesta. Tapi mari perbaiki ibadah kita, mari benahi langkah kita, mari rapatkan barisan kita. Bismillah.. Ingat 3 M kan? Mulai dari yang kecil. Mulai dari diri sendiri. Mulai sekarang juga. Kematian akan slalu ada untuk setiap mahluk dan itu akan datang tanpa kita sadari.
* Penulis: Seorang Mahasiswi Semester 1 Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Jumat, 11 September 2009

Gaya Hidup

Gaya hidup didefinisikan sebagai cara hidup yang diidentifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu (aktivitas), apa yang mereka anggap penting dalam lingkungannya (ketertarikan), dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia di sekitarnya (pendapat) .

Gaya hidup hanyalah salah satu cara mengelompokkan konsumen secara psikografis. Gaya hidup pada prinsipnya adalah bagaimana seseorang menghabiskan waktu dan uangnya. Ada orang yang senang mencari hiburan bersama kawan-kawannya, ada yang senang menyendiri, ada yang bepergian bersama keluarga, berbelanja, melakukan kativitas yang dinamis, dan ada pula yang memiliki dan waktu luang dan uang berlebih untuk kegiatan sosial-keagamaan. Gaya hidup dapat mempengaruhi perilaku seseorang, dan akhirnya menentukan pilihan-pilihan konsumsi seseorang

Teori Sosiologi Modern

Teori Sosiologi Modern
MANUSIA adalah masyarakat dalam bentuk miniatur. Ketika dia berkomunikasi dengan dirinya sendiri, dia bisa menjadi subyek dan sekaligus obyek. Dalam komunikasi itu pula, manusia berpikir, menunjuk segala sesuatu, menginterpretasikan situasi, dan berkomunikasi dengan dirinya sendiri dengan cara-cara berbeda.
Berpikir berarti berbicara kepada diri sendiri, sama seperti cara kita berbicara dengan orang lain. Percakapan dengan diri sendiri sebagian besar dilakukan dengan diam. Tanpa diri sendiri, manusia tidak akan mampu berkomunikasi dengan orang lain, sebab hanya dengan itu, maka komunikasi efektif dengan orang lain bisa terjadi.
Dari situ akan terdapat banyak ‘arti’. Individu yang menyampaikan ‘arti’ pada dirinya sendiri, pada saat itu juga ia memberikan ‘arti’ pada orang lain. Perasaan terhadap diri seseorang dibentuk dan didukung oleh respon orang lain. Jika seseorang konsisten menunjukkan dirinya dalam pelbagai perbedaan, maka dia juga harus menerima perlakuan orang lain sesuai yang dia berikan padanya.
Jika seseorang secara konsisten ditertawakan dan diremehkan, maka tampaknya tak ada sesuatu yang lain yang dia anggap pada dirinya kecuali bahwa dirinya memang rendah. Jika seseorang kerap diabaikan –terutama di dalam situasi di mana dirinya minta untuk diperhatikan–, maka dia akan sangat yakin bahwa dirinya memang benar-benar tak berguna. Dan inilah yang dibincangkan dalam dalam teori interaksionisme simbolis.
Riyadi Soeprapto (2002), “Teori Interaksionisme Simbolik, Perspektif Sosiologi Modern” (241 Hlm)
http://www.averroespress.net/press-corner/katalog-buku/326-teori-interaksionisme-simbolik-perspektif-sosiologi-modern.html
1. Positivisme memilikin beberapa ciri-ciri, yaitu:
a. Membahas segala sesuatu berdasarkan apa yang sebenarnya dan dapat dirasakan oleh panca indra.
b. Membahas melalui pengalaman dan kebenarannya bisa dibuktikan secara ilmiah.
c. Fakta yang ada tidak berkaitan dengan nilai.
d. Objek memiliki nilai dan manfaat
2. Kelemahan konvensionalisme adalah diantaranya konvensionalisme dianggap berlawanan dengan real atau kenyataan dan hanya melihat melalui makna, ide dan intepretasi. Maka teori ini dapat dikatakan teori yang bersifat ilusionis karena hanya memikirkan makna yang terkandung saja. Teori ini juga selalu dapat berubah-ubah menyesuaikan perkembangan jaman.
3. Realisme adalah suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa inti dari segala sesuatu berdasarkan dengan kenyataan yang ada.
4. Konvensionalisme sendiri melihat segala sesuatu berdasarkan pada makna, ide dan intepretasi. Sedangkan positivisme melihatnya berdasarkan kenyataan saja. Maka menurut konvensionalisme, positivisme dianggap tidak dapat melihat makna dibalik kenyataan itu sendiri. Positivisme hanya dapat melihat suatu masalah melalui konsep, teori dan hukum.
5. Menurut Anthony Giddens, modernitas ialah suatu tatanan pasca masyarakat tradisional, meski di dalamnya keyakinan yang diperoleh dari pengetahuan rasional belum menggeser kemantapan dan kedamaian jiwa yang diperoleh dari tradisi dan norma-normanya. Sedangkan menurut istilah modernitas yaitu adanya perubahan dengan memperhatikan adanya perubahan jaman, sosial, ekonomi dan budaya.
Ciri-ciri modernitas adalah linier, sirkuler dan alam sebagai objek sedangkan manusia sebagai objek
6. Manusia dapat menemukan modernisasi saat manusia sudah sadar bahwa dirinya sebagai subjek yang berfikir. Namun modernitas cenderung menempatkan manusia hanya sebagai objek dan bukan subjek. Manusia bukan lagi sebagai pelaku perubahan dalam pusaran modernisasi tersebut. Tapi lebih sering terseret dalam jaring-jaring modernisasi yang menumpulkan kesadaran kritisnya.
7. Rasio dapat menciptakan modernitas. Dimana dengan rasio yang kuat dapat dikembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian menjadi sarana untuk menciptakan kehidupan yang sejahtera untuk memajukan rakyat banyak. Namun rasio yang berlebihan juga dapat berpengaruh buruk. Maka harus diseimbangkan antara rasio dan rasa.
8. Akal budi pencerahan disebut juga sebagai nalar. Akal budi pencerahan adalah usaha dari manusia untuk mencapai pengertian rasional dirinya dan makna emasipatoris (pembebasan manusia berdasarkan kedaulatannya).
9. Kritik Horkheimer dan Adorno mengenai akal budi pencerahan, dimana pencarian akan akal budi pencerahan ini akan membuat pengaruh jangka panjang yang buruk seperti rasionalitas dan penindasan serta menetang hak asasi. Pencerahan tersebut hanya dapat dinikmati oleh dirinya sendiri. Pencerahan merupakan proyek penyingkiran mitos-mitos dalam akal budi telah melahirkan cara berfikir yang disebut rasio kritis.
10. Menurut Horkheimer, teori tradisional merupakan teori ideologis. Dimana teori ini berusaha untuk memecahkan segala fenomena dan masalah yang ada. Teori ini bersifat netral, ahistori dan tidak adanya kesatuan antara teori dan praxis.
Contoh teori tradisional adalah teori suicide (bunuh diri) yang dikemukakan oleh Emile Durkheim. Karena teori ini hanya mengupas luarnya saja, tidak sampai begitu mendalam.
11. Teori kritis adalah sebuah perspektif teoritis yang elektik dan sumber pemikirannya bisa diambil dari pemikir-pemikir sebelumnya dan disatukan dengan teoritis yang sama. Teori kritis lebih kepada mengkritisi dan mencari kelemahan dari suatu teori untuk kemudian diformulasikan menjadi teori yang kuat.
12. Kritik (dalam KBBI) adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb. Kata kritik diturunkan dari bahasa Yunani Kuno yaitu krités, artinya “orang yang memberikan pendapat beralasan” atau “analisis”, “pertimbangan nilai”, “interpretasi”, atau “pengamatan”.
13. Akal budi instrumental adalah akal budi atau rasio yang menekankan diri sebagai alat sarana demi membuahkan guna.
14. Menurut Horkheimer dilema usaha rasional manusia itu adalah terbenamnya akal budi objektif dan digantikan akal budi yang melulu instrumentalis. Dimana manusia mencoba sadar dan mencari rasionalitas untuk mencapai suatu tujuan secara terus menerus namun pada akhirnya manusia tersebut hanya kembali kepada irrasionalitas.
15. Strukturalisme adalah sebuah pemikiran filsafat yang menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi. Strukturalisme merupakan krangka berfikir dari banyak pemikiran-pemikiran modern.
Contoh konkrit dari strukturalisme adalah sistem bahasa di masyarakat.
16. Menurut Foucault, pengetahuan adalah bagian dari strategi kuasa, sehingga dengan sendirinya bersifat subyektif. Pengetahuan adalah keinginan untuk tahu / mengetahui yang berkaitan dengan proses dominasi atas obyek-obyek yang berkaitan dengan manusia.
17. Foucault mengemukakan bahwa pengetahuan dilahirkan atas kuasa. Namun kuasa sendiri mempunya efek kuasa. Dimana kuasa berkembang sesuai dengan perkembangan kuasa.
18. Fungsi arsip : mengumpulkan pernyataan-pernyataan untuk dapat dibakukan.
Fungsi regulasi : membuat norma-norma dari arsip yang sesuai dengan masyarakat.
Fungsi normalisasi: menyesuaikan antara norma dengan masyarakat melalui umpan balik (feedback) dari masyarakat itu sendiri.
19. Menurut Derrida pemikiran “ada” sebagai kehadiran yang juga disebut olehnya sebagai metafisik. Selain itu kehadiran dihubungkan dengan tanda untuk menggantikan yang tidak hadir dan tanda sebagai bekas. Jika dihubungkan, kehadiran timbul sebagai efek bekas. Kumpulan hubungan tersebutlah yang disebut “teks” oleh Derrida yang selalu berkaitan dengan teks yang lain.
20. Teori kritis digunakan untuk menguji suatu pendapat. Selain itu mengetahui kebenaran dari suatu pendapat, sebagai penyeimbang dari teori-teori yang ada.
http://marthinoes.blogspot.com/2009/07/pertanyaan-teori-sosiologi-kritis.html
IBNU Khaldun mencetus pemikiran baru apabila menyatakan sistem sosial manusia berubah mengikut kemampuannya berfikir, keadaan muka bumi persekitaran mereka, pengaruh iklim, makanan, emosi serta jiwa manusia itu sendiri.
Beliau juga berpendapat institusi masyarakat berkembang mengikut tahapnya dengan tertib bermula dengan tahap primitif, pemilikan, diikuti tahap peradaban dan kemakmuran sebelum tahap kemunduran.
Pandangan Ibnu Khaldun dikagumi tokoh sejarah berketurunan Yahudi, Prof Emeritus Dr Bernerd Lewis yang menyifatkan tokoh ilmuwan itu sebagai ahli sejarah Arab yang hebat pada zaman pertengahan.
Felo Amat Utama Akademik Institut Antarabangsa Pemikiran dan Ketamadunan (Istac), Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM), Muhammad Uthman El-Muhammady pula melihat pendekatan Ibnu Khaldun secara sejagat.
Sumbangan Ibu Khaldun, perintis ilmu sosiologi moden dapat disaksikan melalui siri Ilmuwan Islam di TV3, malam ini.
Episod kali ini yang diterbitkan Mohd Fasil Mohd Idris, bakal membawa penonton mengenali lebih dekat ilmuwan kelahiran Tunisia yang banyak menghasilkan karya untuk rujukan umat Islam dan bangsa lain masa kini.
Dilahirkan di Tunisia, keluarga Ibnu Khaldun sebenarnya berasal dari wilayah Seville, Sepanyol, ketika dalam pemerintahan Islam.
Ketika zaman kanak-kanak, beliau mempelajari al-Quran daripada orang tuanya sebelum melanjutkan pengajian ke peringkat tinggi sambil dibantu sejarawan dan ulama Tunisia serta Sepanyol.
Pada 1375, beliau berhijrah ke Granada, Sepanyol kerana mahu melarikan diri daripada kerajaan di Afrika Utara.
Bagaimanapun, keadaan politik Granada tidak stabil, lantas mendorong beliau untuk merantau ke Aljazair (bahagian utara Semenanjung Tanah Arab). Di sini, beliau tinggal di kampung kecil iaitu Qalat Ibnu Salama.
Di situ juga beliau menghasilkan beberapa karya terkenal termasuk al Ibar Wa Diwan al-Mubtad Wa al-Khabar. Kitab ini mengandungi enam jilid dan paling terkenal, kitab Mukaddimah.
Sehingga kini kitab itu menjadi rujukan umat Islam, khususnya dalam ilmu kajian sosial, politik, falsafah dan sejarah.
Kitab Mukaddimah menghuraikan beberapa peristiwa dalam kehidupan masyarakat, proses pembentukan negara, faktor kemajuan serta kemunduran, selain menerangkan beberapa perkara yang berkaitan bidang perniagaan, perindustrian dan pertanian.
Karya Ibnu Khaldun yang menakjubkan itu membolehkan beliau digelar sebagai Prolegomena atau pengenalan kepada pelbagai ilmu perkembangan kehidupan manusia di kalangan ilmuwan Barat.
Dalam pada itu, Ibnu Khaldun mengutarakan pandangannya bagi memperbaiki kesilapan dalam kehidupan menjadikan karya beliau seumpama ensiklopedia yang mengisahkan pelbagai perkara dalam kehidupan sosial manusia.
Kajian yang dilakukan Ibnu Khaldun bukan hanya mencakupi kisah kehidupan masyarakat ketika itu, malah merangkumi sejarah umat terdahulu.
Selain sebagai ilmuwan dalam bidang sosial, Ibnu Khaldun, mampu mentadbir dengan baik apabila dilantik sebagai kadi ketika menetap di Mesir.
Kebijaksanaannya mendorong Sultan Burquq iaitu Sultan Mesir ketika itu memberi gelaran Waliyuddin kepada Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun juga memajukan konsep ekonomi, perdagangan, kebebasan dan terkenal kerana hasil kerjanya dalam bidang sosiologi, astronomi, numerologi, kimia serta sejarah.
Beliau membangunkan idea bahawa tugas kerajaan hanya terhad kepada mempertahankan rakyatnya daripada keganasan, melindungi harta persendirian, menghalang penipuan dalam perdagangan dan menguruskan penghasilan wang.
Pemerintah juga melaksanakan kepemimpinan politik bijaksana dengan perpaduan sosial dan kuasa tanpa paksaan.
Dari segi ekonomi, Ibn Khaldun memajukan teori nilai dan hubung kaitnya dengan tenaga buruh, memperkenalkan pembahagian tenaga kerja, menyokong pasaran terbuka, menyedari kesan dinamik permintaan dan bekalan ke atas harga dan keuntungan.
Beliau turut menyokong perdagangan bebas dengan orang asing, dan percaya kepada kebebasan memilih bagi membenarkan rakyat bekerja keras untuk diri mereka sendiri.
Wacana atau pemikiran Ibnu Khaldun turut diterjemah ke dalam kehidupan masyarakat moden yang mahu mengimbangi pembangunan fizikal dan spiritual seperti Malaysia yang sedang menuju status negara maju.
Secara teorinya, ilmu itu dikaitkan dengan soal manusia dalam masyarakat dan ahli sosiologi berharap ilmu berkenan dapat menjalinkan perpaduan serta membentuk penawar kepada krisis moral yang dihadapi masyarakat hari ini.
Istilah sosiologi walaupun dicipta tokoh kelahiran Perancis abad ke-19, Aguste Comte, kajian mengenai kehidupan sosial manusia sudah dihurai oleh Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah, 500 tahun lebih awal, pada usianya 36 tahun
http://perpustakaan-online.blogspot.com/2008/04/tokoh-sosiologi-modern-ibnu-khaldun.html]
I. PENGANTAR Tulisan ini telah menyita perhatian karena telah merubah cara kita berpikir tentang teori-teori sosial dan kita berharap bahwa kita akan berlaku sama untuk yang lain. Tulisan ini menjelaskan dan membantu mengatasi apa yang kiranya menjadi sumber utama kebingungan dalam ilmu-ilmu sosial pada saat sekarang. Pada awalnya tulisan ini hanya bermaksud menghubungkan teori-teori organisasi dalam konteks kemasyarakatan yang lebih luas. Tetapi, dalam wacana yang lebih luas, tulisan ini sekaligus juga mencakup banyak aspek dari filsafat dan teori sosial secar umum.
Dalil kami adalah bahwa teori sosial dapat secara mudah dipahami dari empat kunci paradigma, yang didasarkan atas perbedaan anggapan metteori tentang sifat dasdar ilmu sosial dan sifat dasar dari masyarakat. Empat paradigma itu dibangun atas pandangan-pandangan yang berbda mengenai dunia soisal. Masing-masing pendirian menghasilkan (melahirkan) analisanya sendiri-sendiri mengenai kehidupan sosial. Masing-masing paradigma melahirkan teori-teori dan pandangan-pandangan yang didalamnya terdapat pertentangan fundamental yang ditimbulkan dalam paradigma lainnya.
Sejumlah analisa-analisa teori sosial telah membawa kita berhadap-hadapan langsung dengan sifat dari asumsi-asumsi yang mengandung perbedaan pendekatan pada ilmu sosial.
II. ASUMSI-ASUMSI DASAR ILMU SOSIAL
Tesis utama dalam tulisan ini adalah bahwa semua teori tentang masyarakat didasarkan pada (atas) filsafat ilmu dan teori sosial tertentu. Filsafat dan teori ilmu sosial selalu mengandung empat anggapan dasar (asumsi): ontologis, epistemologis, pandangan tentang manusia (human nature), dan metodologi. Semua pakar ilmu sosial mendekati pokok kajian mereka dengan asumsi-asumsi (baik eksplisit maupun implisit) mengenai dunia sosial dan cara dimana dunia sosial diteliti.
Asumsi Ontologis / Hakekat sesuatu
Asumsi ini memperhatikan inti dari fenomena yang diamati. Para pakar ilmu sosial misalnya dihadapkan pada pertanyaan dasar ontologis: apakah realitas diteliti sebagai suatu yang berada di luar diri manusia yang merasuk ke dalam alam kesadaran seseorang; ataukah merupakan hasil dari kesadaran seseorang? Apakah realitas itu merupakan keadaan yang obyektif atau hasil dari pengetahuan seseorang (subyektif)? Apakah realitas itu memang sesuatu yang sudah ada (given) di luar pikiran seseorang atau hasil dari pikiran seseorang.
Asumsi Epistemologis / Memperoleh kebenaran
Ini berkaitan dengan anggapan-anggapan dasar mengenai landasan ilmu pengetahuan, yaitu bagaimana seseorang mulai memahami dunia sosial dan mengkomunikasikannya sebagai pengetahuan kepada orang lain. Anggapan dasar ini berkaitan juga dengan bentuk-bentuk pengetahuan apa saja yang bisa didapat dan bagaimana seseorang memilah-milah mana yang dikatakan “benar” dan “salah”. Dikotomi benar dan salah itu sendiri menunjukkan pendirian atau sikap epistemologi tertentu. Didasarkan atas pandangan tentang sifat ilmu pengetahuan itu sendiri: apakah misalnya mungkin mengenal dan mengkomunikasikan sifat ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang wujud nyata dan dapat disebarkan atau diteruskan dalam bentuk nyata; atu apakah ilmu pengetahuan itu merupakan sesuatu yang lebih halus (tidak berujud), lebih mempribadi, bersifat rohaniah dan bahkan mengatasi kenyataan (transendental) yang lebih didasarkan pengalaman dan pengetahuan pribadi yang unuk dan hakiki? Di sini epistemologi menentukan posisi yang ekstrim: apakah pengetahuan itu sesuatu yang dapat diperoleh (dipelajari) dari orang lain atau sesuatu yang dimiliki atas dasar pengalaman pribadi.
Asumsi Hakekat Manusia
Ini terutama mengenai hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Semua ilmu sosial secara jelas harus didasarkan pada asumsi ini, karena kehidupan manusia hakekatnya adalah subyek sekaligus obyek dari pencarian dan penemuan pengetahuan. Kita dapat mengindentifikasi pandanngan ilmu sosial, yang mengandung pandangan manusia dalam menanggapi keadaan-keadaan di luar dirinya secara mekanistik atau deterministik. Pandangan ini mengarahkan manusia bahwa manusia dan pengalamnnya dihasilkan oleh lingkungan, manusia dibentuk oleh keadaan sekitar di luar dirinya. Pandangan ini dipertentangkan dengan anggapan bahwa manusia memiliki peran penciptaan yang lebih besar, memiliki kemauan bebas (free will), menduduki peran kunci, bahwa seseorang adalah pencipta lingkungan sekitarnya, pengendali dan bukan dikendalikan, sebagai dalang (master) bukan wayang (marionette). Dalam dua pandangan ekstrim ini.
Asumsi Metodologis
Anggapan-anggapan dasar tersebut memiliki konsekuensi penting dalam hal cara seseorang menemukan pengetahuan tentang dunoia sosial. Perbedaan asumsi ontologis, epistemologis, dan asumsi kecenderungan manusia akan membawa ahli ilmu sosial ke arah perbedaan metodologis, bahlkan di kalangan ahli ilmu alam tradisional sekalipun yang jurang perbedaan mereka sangat tipis. Menelusuri metodologi yang digunakan kedua kubu itu sangatlah mungkin. Penganut paham ekstrim pertama, analisisnya akan dipusatkan pada hubungan-hubunhan dan tatanan-tatanan antara berbagai unsur yang membentuk masyarakat dan menemukan cara yang dapat menjelaskan hubungan (relationship) dan keteraturan (regularity). Cara ini merupakan upaya mencari hukum-hukum yang dapat diberlakukan secara umum untuk menjelaskan kenyataan sosial. Penganut pandangan kedua, upayanya terarah pada berbagai masalah masayarakat yang berbeda dan dipahami dengan cara berbeda pula. Upayanya terpusat memahami cara seseorang menafsirkan, merubah dan membentuk dunia di mana ia berada. Tekanannya pada pemahaman dan pengertian khas dan unik setiap orang pada kenyataa yang umum. Menekankan sifat kenisbian kenyataan sosial. Pendekatan ini sering dianggap “tidak ilmiah” oleh penganut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan sosial.

Pengertian Komunikasi

Pengertian Komunikasi
Pada perang dunia ke II komunikasi belum dianggap sebagai sebuah ilmu dan hanya dianggap sebagai sebuah proses sosial. Dimasa ini baru di mulai penelitian penelitian mengenai komunikasi dan efek dari komunikasi tersebut.
Proses komunikasi adalah:
Komunikator -> Pesan (bisa berupa lisan maupun tulisan -> media -> komunikan-> efek -> perilaku
Hakekat Komunikasi
Memahami komunikasi berarti memahami apa yang terjadi selama komunikasi berlangsung, mengapa itu terjadi, manfaat apa yang dirasakan, akibat-akibat apa yang ditimbulkannya, apakah tujuan dari aktifitas berkomunikasi sesuai dengan apa yang diinginkan, memahami hal-hal yang dapat mempengaruhi dan memaksimalkan hasil-hasil dari kejadian tersebut.Menurut Anwar arifin (1988:17), komunikasi merupakan suatu konsep yang multi makna. Makna komunikasi dapat dibedakan berdasarkan:
Komunikasi sebagai proses sosial Komunikasi pada makna ini ada dalam konteks ilmu sosial. Dimana para ahli ilmu sosial melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan komunikasi yang secara umum menfokuskan pada kegiatan manusia dan kaitan pesan dengan perilaku.
Harold D. Lasswell meneliti masalah identifikasi simbol dan image yang bertolak belakang dengan realitas/efek pada opini publik. Berkaitan dengan efek-efek teknik propaganda pada perang dunia 1 (1927). Beliau seorang ahli politik, meneliti dengan cara meyebarkan leaflet mengenai perang.
Kurt lewin meneliti fungsi-fungsi komunikasi pada kelompok sosial informal. Lewin meneliti tipe-tipe gatekeeper yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin autokratik, demokratik. Lewin juga meneliti individu-individu yang ada pada kelompok-kelompok penekan dan individu-individu yang berada pada kelompok (members group). Soearang ahli psikologi.
Carl Hovland meneliti kredibilitas sumber (komunikator) hubungannya dengan efek persuasi (perubahan sikap). Hovland adalah peneliti yang memperkenalkan penelitian-peneltian eksperimental dalam komunikasi massa. Seorang ahli sosiologi, meneliti melalu pemutaran film berbeda kepada 2 kelompok berbeda, dan melihat efek dari film tersebut terhadap individu. Kredibiltas terdiri dari 1. Expert (ahli dalam bidang tersebut) 2. Competency (memiliki kompetensi) 3. Skill (harus memiliki kemampuan dalam bidang nya) 4. Trust (harus bisa di percaya)
Paul F.Lazarsfeld mengungkapkan hubungan antara status sosial, ekonomi, mass media exposure dan pengaruh interpersonal atau efek pengetahuan, sikap dan perubahan perilaku. Beliau seorang ahli matematika Teknik-teknik analisis yang digunakan oleh para peneliti tersebut memberikan contoh bagaimana menjelaskan sistem komunikasi dalam konteks proses sosial.
Komunikasi sebagai Peristiwa Dalam hal ini komunikasi mempunyai pengertian, bahwa komunikasi merupakan gejala yang dipahami dari sudut bagaimana bentuk dan sifat terjadinya. Peristiwa komunikasi dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria tertentu. Ada yang membedakan komunikasi
massa dengan komunikasi tatap muka, komunikasi verbal dan non verbal, komunikasi yang menggunakan media dan tanpa media.
Komunikasi sebagai Ilmu Struktur ilmu pengetahuan meliputi aspek aksiologi, epistomologi dan ontologi. Aksiologi mempertanyakan dimensi utilitas (faedah, peranan dan kegunaan). Epistomologi menjelaskan norma-norma yang dipergunakan ilmu pengetahuan untuk membenarkan dirinya sendiri. Sedangkan ontologi mengenai struktur material dari ilmu pengetahuan.
Komunikasi sebagai kiat atau keterampilan Komunikasi dipandang sebagai skill yang oleh individu dipergunakan untuk melakukan profesi komunikasi. Perkembangan dunia komunikasi di Indonesia pada masa yang akan datang menunjukkan prospek yang semakin cerah. Dengan demikian, masalah-masalah yang berhubungan dengan profesi komunikasi tetap menjadi agenda penting. Antara komunikasi dan bidang profesional terdapat kaitan yang signifikan. Dalam menunjang suatu profesi atau karir yang menuntut kemampuan pemahaman pada sifat dasar komunikasi, berkomunikasi secara kompeten dan efektif diperlukan dalam bidang kemampuan berkomunikasi (speech communication), komunikasi massa, komunikasi organisasi, komunikasi politik, public relations, periklanan, penyiaran (broadcasting) dan pemasaran.
Pengetahuan dan kemampuan komunikasi adalah dasar untuk kualitas kepemimpinan. Merupakan hal pokok untuk hubungan interpersonal, mempengaruhi dan perkembangan informasi dalam organisasi. Komunikasi juga memainkan peran penting dalam perencanaan, pengambilan keputusan, pemikiran strategis, memperoleh pengetahuan teknis dan menilai hasil.

Artikel

Artikel
Tema : Kemiskinan
Teori : Friedmann (1979) menyatakan bahwa kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial meliputi (tidak terbatas pada) : modal yang produktif atau asset, misalnya tanah, perumahan, peralatan, kesehatan, dan lain-lain ; sumber-sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai); organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (partai politik, sindikat, koperasi, dan lain-lain); jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, dan lain-lain; dan pengetahuan atau keterampilan yang memadai, serta informasi yang berguna untuk memajukan kehidupannya.
Sumber: Rohidi, T.R. 2000. Ekspresi Seni Orang Miskin. Bandung: Penerbit Nuansa.
Kasus : Pengangguran
Pengangguran dan Kemiskinan Tetap Jadi Fokus Pemerintah
Kamis, 1 Februari 2007
JAKARTA (Suara Karya): Pada tahun 2007 ini pemerintah tetap fokus pada program penurunan angka pengangguran dan kemiskinan, di samping mendorong pertumbuhan ekonomi.
Demikian dikemukakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membacakan pidato awal tahun di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (31/1). Pembacaan pidato tersebut sempat empat kali tertunda dengan berbagai alasan.
Untuk menurunkan angka pengangguran, kata Presiden, dibutuhkan stabilitas dan fundamental ekonomi serta pertumbuhan ekonomi. Lalu, guna menurunkan angka kemiskinan, pemerintah berjanji memperbaiki koordinasi dan kualitas program-program pengentasan kemiskinan. Misalnya bantuan tunai bersyarat, beras untuk rakyat miskin, bantuan pendidikan, dan kesehatan gratis.
"Sejak awal saya telah mengenali permasalahan mendasar yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu tingginya tingkat kemiskinan, pengangguran, dan besarnya utang pemerintah," ujar Presiden.
Dia menambahkan, ada tiga problem serius lain yang memerlukan perhatian. Yaitu, praktik korupsi yang kronis dan penegakan hukum yang lemah, perekonomian nasional yang masih rapuh dan rentan akibat krisis, serta keadaan politik dan keamanan yang masih rentan, termasuk keadaan di Aceh dan Papua.
"Kita sadar dan amat mengetahui jika keenam permasalahan mendasar itu tidak kita tangani secara sungguh-sungguh, tekun, dan konsisten, negara kita tidak akan bergerak maju, dan kesejahteraan rakyat juga tidak akan bertambah baik," tutur Presiden.
Masalah kemiskinan, pengangguran, dan utang pemerintah, terutama utang luar negeri yang amat tinggi, menurut Presiden, merupakan warisan masa lalu dan menjadi tantangan bersama sekarang ini. Sebelum krisis 1998, angka kemiskinan, pengangguran, dan utang luar negeri masih relatif tinggi. Ketika negara mengalami krisis, angka kemiskinan, pengangguran, dan utang pemerintah menjadi lebih tinggi lagi.
"Agar program pengentasan kemiskinan dapat berhasil lebih efektif, kita harus memastikan program dan kegiatannya memang benar-benar tepat, dan program-program itu mendapatkan pendanaan yang sesuai dan cukup," kata Presiden.
Itu sebabnya, tahun demi tahun besaran anggaran program pengentasan kemiskinan terus ditingkatkan secara signifikan. Presiden menyebut, tahun 2004 anggaran untuk program kemiskinan mencapai Rp 18 triliun, tahun 2005 menjadi Rp 23 triliun, dan tahun lalu melonjak hampir dua kali lipat menjadi Rp 42 triliun, sementara tahun Rp 51 triliun.
Dengan demikian, menurut Presiden, dari segi anggaran, program pengentasan per jiwa orang miskin adalah Rp 499 ribu untuk tahun 2004, lalu Rp 655 ribu untuk tahun 2005, Rp 1,08 juta untuk tahun 2006, dan Rp 1,3 juta untuk tahun ini.
"Saya berupaya sungguh-sungguh agar dana ini benar-benar sampai pada sasaran. Saya menginstruksikan para menteri dan seluruh gubernur, bupati, dan walikota agar dapat menjalankan program pengentasan kemiskinan secara efektif dan nyata," ujarnya.
Pada tahun ini, program pengentasan kemiskinan antara lain pengadaan air bersih, pembangunan infrastruktur pedesaan, pembangunan bio-energi, serta reformasi agraria.
Dalam kaitan ini, kata Presiden, pemerintah pada tahun 2007 ini meluncurkan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM). Itu merupakan upaya terkoordinasi untuk menciptakan lapangan kerja baru, perbaikan infrastruktur di pedesaan, dan lingkungan daerah kumuh di perkotaan. Partisipasi keluarga miskin, termasuk kaum perempuan, dalam perencanaan hingga implementasinya merupakan ciri program ini.
Presiden memperinci, tahun ini terdapat 2.891 kecamatan yang tercakup dalam program PNPM ini. Tahun depan, itu ditingkatkan menjadi 3.800 kecamatan, dan akhirnya mencakup seluruh kecamatan (5.263) pada tahun 2009. (Yudhiarma)
Sumber: http://perpustakaan.bappenas.go.id/pls/kliping/data_access.show_file_clp....

Teori Sosiologi dan Antropologi

Teori Sosiologi dan Antropologi
Bila teori konflik struktural sedikit simplistis dalam menjelaskan distribusi kekuasan dan benturan ideologis, sosiologi pengetahuan tidak berhenti sampai di situ. Sosiologi pengetahuan memandang keterlibatan kekuatan dalam konflik masih memerlukan penjelasan proses sosial dan dialektikanya. Perspektif sosiologi konflik struktural tidak cukup memberi perhatian terhadap aspek sosio historis dan tindakan dari konteks sosial dimana konflik muncul. Sedangkan sosiologi pengetahuan memiliki keinginan untuk melacak proses sosial dan dan bangunan sifat-sifat spesifik sosiokultural.
A. Review Literatur Sosiologi Pengetahuan
Sosiologi pengetahuan, sebagaimana menurut Collins Dictionary of Sociology (Jary&Jary, 1991 : 607-609), merupakan sebuah cabang sosiologi yang mengkaji proses-proses sosial yang melibatkan produksi pengetahuan. Salah satu tesis penting sosiologi pengetahuan, seperti yang dirumuskan Karl Manheim, adalah adanya kaitan antara pengetahuan dan kehidupan dan kesalingketerkaitan antara pikiran dan tindakan. Dengan demikian pengetahuan tidak pernah merupakan produk sosial yang bebas dari unsur-unsur nilai dan kepentingan, dan selalu berkait dengan keanggotaan kelompok dan lokasi dari individu-individu.
Max Scheler mungkin bisa disebut orang yang pertama kali mengembangkan pemikiran sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge/wissenssoziologie), ia adalah filsuf dari Jerman pada dasawarsa 1920-an. Kemudian menyusul Karl Mannheim sebagai pelopor bagi terbangunnya kerangka teori sosiologi pengetahuan yang lebih kongkret dalam analisa sosiologi, dengan jelas ia menuliskannya kedalam bukunya Ideologi dan Utopia; Menyingkap Pikiran dan Politik. Sosiologi pengetahuan kemudian semakin memperoleh perhatian besar di Amerika ketika Peter L. Berger dan Thommas Luckmann menulis buku tentang sosiologi pengetahuan berjudul Social Construction of Reality (1966) yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul Konstruksi Sosial Atas Kenyataan; Suatu Risalah Sosiologi Pengetahuan (LP3ES,1990).
Sosiologi pengetahuan Berger merupakan hasil kerja intelektual yang banyak mendapatkan sumbangan dari tokoh-tokoh klasik, dari Karl Marx, Max Weber, Durkheim, sampai fenomenologi Alfred Schuezt. Berger berupaya menemukan jalan damai dari perdebatan ilmiah dalam sosiologi dengan bangunan teori sosiologi pengetahuan yang ia kembangkan. Upaya-upaya yang dilakukan Berger dengan membangun sebuah teori konstruksi sosial tentang kenyataan ini sungguh menarik sebagaimana yang dicatat Margaret M. Poloma (1992: 303), bahwa dalam karya-karya Berger jelas terlihat usaha untuk menjembatani yang makro dan mikro, bebas nilai dan sarat nilai, interaksionis dan strukturalis, maupun teoritis dan relevan.
Sosiologi pengetahuan menganalisis apa saja yang dianggap sebagai pengetahuan dalam masyarakat awam. Sejauh mana semua “pengetahuan” manusia itu dikembangkan, dialihkan, dan dipelihara dalam berbagai situasi sosial, maka sosiologi pengetahuan berusaha memahami bagaimana proses-proses itu dilakukan, sedemikian rupa sehingga pada akhirnya terbentuklah “kenyataan” yang dianggap sudah sewajarnya oleh orang-orang awam. Dengan kata lain, bahwa sosiologi pengetahuan menekuni analisa pembentukan kenyataan oleh masyarakat (social construction of reality). Kebalikan dari Marx tentang yang material menghasilkan pengetahuan, sosiologi pengetahuan menelaah dan membuktikan bahwa pengetahuan menghasilkan yang material.
Secara konseptual sosiologi pengetahuan muncul sebagai respon terhadap realitas ilmu-ilmu sosial yang mengadopsi ilmu alam baik dalam teori, metodologi, dan epistemologi. Kerangka pemikiran yang positivistik dalam ilmu sosial telah menghancurkan sisi internal manusia, atau sisi humanistik ke dalam postulat-postulat kaku, sehingga sosiologi pengetahuan memberikan peluang baru bagi ilmu sosial untuk bergerak dalam menangani fenomena sosial dengan memasukkan unsur humanistis sekaligus fakta sosial.
Secara langsung sosiologi pengetahuan memiliki hutang budi terhadap tokoh-tokoh klasik seperti Karl Marx, Max Weber, Emile Durkeim, dan terhadap tradisi pemikiran fenomenologi Huserl sampai Alfred Schuzt. Kenyataannya teori ini berusaha menengahi dari berbagai aliran yang berkembang dalam pemikiran ilmu sosial. Seperti usahanya dalam menghadapi kenyataan sosial, yang tidak hanya bersifat objektif atau subjektif an sich, tetapi lebih sebagai kenyataan sosial ganda yang melibatkan proses dialektis masyarakat.
Sosiologi Pengetahuan dan Konstruksi Sosial
Sosiologi pengetahuan, dalam pemikiran Berger dan Luckman (1966/1990), memahami dunia kehidupan (lebenswelt/life world) selalu dalam proses dialektis, antara the self (individu) dan dunia sosio kultural. Proses dialektis itu mencakup tiga momen simultan, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosio kultural sebagai produk manusia), objektivasi ( interaksi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidentifikasi dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya).
Fase eksternalisasi dan objektivasi merupakan pembentukan masyarakat yang disebut sebagai sosialisasi primer, yaitu saat dimana seseorang berusaha mendapatkan dan membangun tempatnya dalam masyarakat. Kedua fase ini membuat orang memandang masyarakat sebagai realitas objektif, disebut juga man in society. Tahap internalisasi, yang lebih lanjut agar pranata itu dapat dipertahankan dan dilanjutkan, haruslah ada pembenaran terhadap pranata tersebut, tetapi pembenaran itu dibuat juga oleh manusia sendiri melalui proses legitimasi yang disebut objektivasi sekunder. Pranata sosial merupakan hal yang objektif, independen dan tak tertolak yang dimiliki oleh individu secara subjektif. Ketiga momen dialektis itu mengandung feneomen-fenomen sosial yang yang saling bersintesa dan memunculkan suatu konstruksi kenyataan sosial, yang dilihat dari asal mulanya merupakan hasil ciptaan manusia, buatan interaksi subjektif.
Kenyataan sosial objektif yang terlihat dalam hubungan individu dengan lembaga-lembaga sosial dilandasi oleh aturan-aturan atau hukum merupakan produk manusia itu sendiri, bukan merupakan hakekat dari lembaga-lembaga itu. Ciri coersive yang menyertai struktur sosial yang objektif merupakan suatu perkembangan aktivitas manusia dalam proses eksternalisasi atau interaksi manusia dengan struktur-struktur sosial yang sudah ada. Kenyataannya aturan sosial tersebut akan terus berhadapan dengan proses eksternalisasi. Perubahan sosial dan strukturnya akan sangat tergantung bagaimana eksternalisasi berlangsung. Perubahan sosial akan terjadi bila eksternalisasi ternyata membongkar tatanan yang sudah terbentuk. Sedangkan dalam masyarakat stabil proses eksternalisasi individu-individu akan mengidentifikasi dirinya ke dalam peranan-peranan yang sudah mapan. Peranan menjadi unit dasar dasar dari aturan-aturan yang terlembaga secara objektif. Struktur objektif masyarakat tidak menjadi produk akhir dari suatu interaksi sosial, karena struktur berada dalam suatu proses objektivasi menuju suatu bentuk baru internalisasi yang akan melahirkan suatu proses proses eksternalisasi baru.
Struktur kesadaran subjektif individu dalam sosiologi pengetahuan menempati posisi yang sama dalam memberikan penjelasan kenyataan sosial. Setiap individu menyerap bentuk tafsiran tentang kenyataan sosial secara terbatas, sebagai cermin dari dunia objektif. Dalam proses internalisasi, tiap individu bebeda-beda dalam dimensi penyerapan, ada yang lebih menyerap aspek ekstern, ada juga yang ebih menyerap bagian intern. Tidak setiap individu dapat menjaga keseimbangan dalam penyerapan dimensi objektif dan dimensi subjektif kenyataan sosial itu. Kenyataan yang diterima individu dari lembaga sosial, menurut Berger, membutuhkan cara penjelasan dan pembenaran atas kekuasaan yang sedang dipegang dan dipraktekkan.
Pelembagaan pandangan atau pengetahuan oleh masyarakat itu akhirnya memperoleh generalitas yang paling tinggi, dimana dibangun suatu dunia arti simbolik yang universal, yang kemudian disebut sebagai pandangan hidup atau ideologi. Pandangan hidup yang diterima umum itu dibentuk untuk menata dan memberi legitimasi pada konstruksi sosial yang sudah ada serta memberikan makna pada pelbagai bidang pengalaman mereka sehari-hari. Legitimasi di sini adalah proses penjelasan (unsur kognitif) dan pembenaran (unsur normatif) dari suatu interaksi antara individu.
Dengan memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan dan masalah legitimasi maka kenyataan sosial itu merupakan suatu konstruksi sosial buatan masyarakat sendiri dalam perjalanan sejarahnya dari masa silam, ke masa kini dan menuju masa depan. Konstruksi sosial itu sendiri pada gilirannya berkarakter plural, relatif, dan dinamis. Dalam arti, bahwa lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat memiliki kehendak dalam membangun realitas sosial, dan setiap kehendak tersebut harus berhadapan satu sama lain dan berusaha saling mendominasi. Masyarakat dalam dunia kehidupan mereka selalu terlibat dalam usaha dominasi, oleh sebab itu pertikaian diantara kelompok-kelompok sosial sering muncul.
B. Analisis Konflik Sosiologi Pengetahuan
Konflik Agama Dalam Konstruksi Sosial
Konflik adalah fenomena sosial dan ia merupakan kenyataan bagi masyarakat yang terlibat di dalamnya. Artinya masyarakat menyadari dan merasakan bahwa konflik itu muncul dalam dalam dunia sehari-hari. Konfllik juga sebagai suatu proses sosial, proses perubahan dari tatanan sosial yang lama ke tatanan sosial yang berbeda. Konflik antar komunitas dalam masyarakat difenisikan sebagai suatu kondisi wajar tetapi bila sudah melibatkan kekerasan kewajaran konflik menjadi tidak lagi. Konflik bersifat inheren dalam kesadaran masyarakat sehingga selalu ada gambaran yang nyata tentang fenomena tersebut. Bahkan masyarakat menyimpan pengalaman tentang konflik sebagai pengetahuan dan realitas sosial mereka.
Mengikuti sosiologi Pengetahuan yang dikembangkan oleh Peter L. Berger dan Luckmann (1966, 1990) bahwa realitas sosial berupa pengetahuan yang bersifat keseharian seperti konsep, kesadaran umum dan wacana publik merupakan hasil konstruksi sosial. Kenyataan itu sendiri bersifat plural, dinamis dan dialektis. Demikian juga pengetahuan konflik agama. Dalam perspektif konstruksi sosial, pengetahuan konflik agama sebagai realitas, tidak pernah merupakan realitas tunggal yang bersifat statis dan final, melainkan merupakan realitas plural yang bersifat dinamis dan dialektis. Kenyataan bersifat plural karena adanya relativitas sosial dari apa yang disebut ‘pengetahuan’ dan ‘kenyataan’.
Diilustrasikan oleh Berger dan Luckman (1990:3-4): apa yang nyata bagi seorang biarawan Tibet mungkin saja tidak ‘nyata’ bagi seorang pengusaha Amerika; ‘pengetahuan’ seorang penjahat berbeda dengan ‘pengetahuan’ ahli kriminologi.
Pengetahuan konflik agama sebagai hasil dari konstruksi sosial pun bersifat plural, mengikuti pluralitas konstruksi yang dibuat oleh kelompok-kelompok sosial. Setiap kelompok sosial memiliki referensi nilai-nilai dan preferensi kepentingan yang berbeda-beda, dan perbedaan ini membawa konsekuensi terhadap konflik sosial antara komunitas agama dalam dunia kenyataan. Selain plural, konflik agama juga bersifat dinamis. Realitas pengetahuan konflik agama sebagai konstruksi sosial bersifat dinamis karena sesungguhnya selalu berada dalam dialektika sosial. Dalam level individual. dialektika berlangsung dalam faktisitas objektif dan makna subjektif konflik agama bagi individu. Sementara dalam level sosial, pluralitas konstruksi terhadap pengetahuan konflik agama mengalami dialektika pula.
Sebagai konstruksi sosial, pengetahuan konflik agama merupakan sekaligus realitas objektif dan realitas subjektif. Sebagai realitas objektif pengetahuan konflik agama merupakan faktisitas objektif yang bersifat eksternal dan koersif. Sebagai realitas objektif, pengetahuan konflik agama misalnya meliputi seperangkat doktrin yang sudah terumuskan secara permanen, rumusan-rumusan operasional lainnya, serta praktek implementasi konflik agama itu sendiri. Hal dapat diperlihatkan dengan adanya gerakan-gerakan sosial yang bersifat politis dalam masyrakat.
Sedangkan pengetahuan konflik agama sebagai realitas subjektif berarti menyangkut makna, interpretasi, dan relasi subjektif individu terhadap konflik agama. Setiap individu mempunyai latar belakang sejarah, konstruksi ide, sampai minat dan kepentingan yang bisa berbeda-beda dalam mengahadapi konflik agama. Pengetahuan konflik agama sebagai realitas objektif dan realitas subjektif terus menerus berhubungan secara dialektis.
Realitas pluralisme konstruksi sosial dalam masyarakat menumbuhkan persaingan untuk berebut pengaruh dan menjadi konstruksi dominan. Gilirannya, fenomena kekuasaan ikut terlibat, dari sinilah kemudian fenomena ideologi muncul. Menurut Berger, ketika suatu definisi tertentu mengenai kenyataan pada akhirnya dikaitkan dengan suatu kepentingan kekuasaan yang kongkrit, ia bisa dinamakan ideologi. Pengetahuan konflik agama yang turun dalam bentuk yang antagonis, bersifat doktrin, merupakan bentuk pengetahuan yang dibentuk oleh kekuasaan dalam masyarakat.
Dalam perspektif Berger, kekuasaan mempunyai peranan penting dalam kehidupan sosial. Sehingga menurutnya, kekuasaan dalam masyarakat mencakup kekuasaan untuk menetapkan proses-proses sosialisasi yang sifatnya menentukan dan, dengan demikian, kekuasaan untuk membuat kenyataan. Jelasnya, benar dan salah, baik dan buruk, menjadi wewenang kekuasaan dalam menentukannya.
Berkaitan dengan fenomena ideologi maka bisa dikatakan bahwa ia tidak semata-semata merupakan sebuah konstruksi sosial yang berada dalam ruang yang kosong politik. Seperti pendapat Mannheim bahwa ideologi adalah bentuk pengetahuan yang sudah terkontaminasi keinginan-keinginan subjektif, yaitu hasrat politik. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ideologi merupakan sebuah konstruksi sosial politik; sebuah konstruksi sosial yang kehadirannya berkaitan dengan kepentingan-kepentingan kekuasaan dan penguasaan. Konflik Agama dan pengetahuan tentangnya akhirnya dijadikan ideologi, dalam bentuknya yang antagonis, seperti permusuhan abadi, keburukan tindakan “mereka” di luar “kita”, untuk kepentingan yang tidak selalu terbaca oleh masyarakat awam.
Konflik antara komunitas-komunitas agama di Ambon Maluku adalah sebagai hasil pengetahuan konflik agama dalam setiap komunitas sosial, Islam dan Kristen, dalam mengarahkan tindakan mereka menghadapi dunia sosial. Konflik agama itu melibatkan proses sosial yang dialektis antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat, yang menyertakan fenomena ekonomi dan politik, sebagai konstruksi sosial.
Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan
Tentang pengetahuan, Berger, banyak mengambil dari pemikiran fenomenologi Alfred Schutz. Pemikiran sosiologi fenomenologi Schutz menjelaskan tiga unsur pengetahuan yang membentuk pengertian manusia tentang masyarakat yaitu dunia sehari-hari, Sosialitas dan makna.
Dunia sehari-hari sebagai dunia yang paling fundamental dan dunia terpenting bagi manusia. Dia menjadi orde tingkat satu (the first order of reality), yang sekaligus menjadi sumber dan dasar bagi pembentukan orde-orde selanjutnya. Kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagi kenyataan yang ditafsirkan oleh manusia dan mempunyai makna subjektif bagi mereka sebagai satu dunia yang koheren (Berger&Luckamn, 1990: 28).
Sosialitas mengacu pada teori Max Weber mengenai tindakan sosial (social action, soziales handeln). Tindakan sosial yang terjadi setiap hari adalah proses dimana terbentuk berbagai makna (Cambell, 1990 : 89). Ada dua fase pembentukan tindakan sosial. Pertama kali tindakan yang diorientasikan pada benda fisik sehingga belum menjadi tindakan sosial, setelah tindakan itu mengorientasikan pada orang dan mendapatkan makna subjektif pada saat itulah terbentuk tindakan sosial.
Makna dan pembentukan makna merupakan sumbangan Schutz yang penting dan orisinal kepada gagasan fenomenologi tentang makna dan bagaimana makna membentuk struktur sosial. Kalau orde dasar bagi masyarakat adalah dunia sehari-hari maka makna dasar bagi pengertian manusia adalah common sense, yang terbentuk dalam bahasa percakapan sehari-hari. Common sense didefinisikan sebagai pengetahuan yang ada pada setiap orang dewasa yang sadar. Pengetahuan ini sebagian besar tidak berasal dari penemuan sendiri, tetapi diturunkan secara sosial dari orang-orang sebelumnya. Bahasa ibu misalnya adalah sebuah khasanah pengetahuan pertama bagi setiap orang yang telah dipelajari dan diterimanya begitu saja, tanpa orang mengetes kebenarannya secara sadar.
Common sense terbentuk melalui tipifikasi yaitu penyusunan dan pembentukan tipe-tipe pengertian dan tingkah laku untuk memudahkan pengertian dan tindakan. Tipifikasi ini tidak hanya menyangkut pandangan dan tingkah laku, tetapi menyangkut juga pembentukan makna. Hal ini terjadi karena orang-orang yang terlibat dalam komunikasi melalui bahasa dan interaksi sosial kemudian membangun semacam sistem relevansi bersama, dengan melepaskan dari tiap individu atau tiap peristiwa hal-hal yang bersifat individual untuk merujuk satu atau beberapa ciri yang sama yang dianggap relevan.
Penggolongan makna kedalam berbagai tipe kemudian menghasilkan apa yang oleh Schutz dinamakan daerah makna yang terbatas (the finite province of meaning).
Suatu daerah makna berbeda dengan daerah makna yang lain karena masing-masing memiliki gaya kognitif (cognitive style) yang berbeda dengan memberi tekanan yang berbeda kepada kenyataan (the accent of reality). Tekanan khusus kepada realitas yang terjadi dalam tiap daerah makna hanya dapat terjadi kalau di sana juga terjadi ephoce, yaitu menghilangkan keragu-raguan mengenai segi-segi tertentu dari kenyataan itu, sekurang-kurangnya buat sementara waktu.
Pengetahuan tidak begitu saja tampil tanpa terlibatnya lembaga sosial yang memegang kunci kekuasaan. Berger melihat negara adalah sebagai lembaga terbesar yang mampu menentukan kenyataan bagi individu-individu dan menentukan eksternalisasi dalam dunia sosial. Negara dan kekuasaan yang dimilikinya menghendaki struktur sosial yang sesuai dengan kepentingannya. Aturan-aturan diciptakan dan dipaksakan sebagai pengetahuan dalam masyarakat, sehingga terbentuklah kenyataan sosial yang dikehendaki. Proses ini merupakan social enginering dengan turunnya dominasi kekuasaan dalam kehidupan sosial. Ketika negara dalam frekwensi tertentu mengurangi, atau terpaksa mengurangi karena faktor tertentu, dominasinya dalam menetukan kenyataan, konstruksi sosial akan melibatkan peran kelompok-kelompokl sosial lainnya yang memiliki kepentingan dalam menentukan kenyataan.
Keterkaitan antara pengetahuan dan kepentingan, menyebabkan munculnya fenomena ideologi. Karena kepentingan memiliki sifat subjektif, dan bagi Mannheim menyebabkan pengetahuan tidak lagi bersifat universal, maka pengetahuan yang telah dikendalikan kepentingan menjadi ideologi. Pengertian ideologi dalam pemahaman Berger adalah suatu dunia arti simbolik yang universal, yang merupakan pandangan hidup masyarakat. Fungsinya adalah untuk memberikan legitimasi pada konstruksi sosial yang sudah ada serta memberikan makna pada pelbagai bidang pengalaman mereka sehari-hari.
Legitimasi melibatkan pengertian kognitif, yang berarti penjelasan terhadap kenyataan, dan unsur normatif yang bersifat membenarkan. Artinya tindakan yang muncul dalam konteks sosial tertentu telah mendapatkan penjelasan dan pembenaran dari lembaga-lembaga sosial melalui ideologi, dan tindakan tersebut merupakan kenyataan bagi individu. Proses itu memperlihatkan kepentingan yang ada dalam pengetahuan.
Jurgen Habermas memberikan pernyataan bahwa pengetahuan selalu berkaitan dengan kepentingan (Hardiman, 1990:109-189). Menurut Habermas, upaya memisahkan pengetahuan dari kepentingan sebenarnya hanya bersifat semu dan palsu, bahkan menjadi alat terselubung bagi suatu kepentingan tersendiri. Bentuk pengetahuan adalah bentuk kepentingan dari mana pengetahuan itu muncul. Common sense sebagai pengetahuan pertama pun tidak lepas dari kepentingan dan dominasi keluarga atau orang-orang sebelumnya.
Habermas dalam rumusan filosofisnya membenarkan bahwa pengetahuan selalu terhubung dengan kepentingan, antara teori dan praksis tidak dapat dipisahkan. Menurut Habermas analisis empiris-analitis mempunyai kepentingan praktis, analisis teori historis hermeunitis mempunyai kepentingan komunikatif, dan teori kritis mempunyai kepentingan emansipatoris. Antara teori dan praksis sosial tidak dapat dipisahkan karena di dalam setiap pengetahuan akan selalu ditemukan kepentingan dari pengetahuan itu sendiri.
Pengetahuan dan kepentigan membentuk makna dalam interaksi sosial, dan tindakan yang dapat muncul dalam jaringan makna dalam dunia sosial. Pemaknaan adalah realitas terbatasnya individu dan kelompok-kelompok sosial di dalam wilayah pengetahuan dan kepentingan mereka. Dalam fenomenologi mereka memiliki daerah makna sendiri-sendiri, dan oleh sebab itu, struktur sosial dan dunia kehidupan itu terus bergerak sejauh pemaknaan dan kepentingan-kepentingan memperjuangkan dirinya secara subyektif.
Agama, Pengetahuan, dan Konflik Agama
Agama telah memperoleh kajian dari sosiologi agama yang mengupayakan pemahaman relasi agama dan masyarakat. Bagaimana agama memperlakukan dan diperlakukan masyarakat, pengaruh agama dalam membangun struktur sosial, budaya, dan konflik yang muncul karenanya. Sosiologi agama membedakan dirinya dari pengertian para teolog dalam menjelaskan persoalan dan jawaban agama, walaupun pada dasarnya sosiologi agama sangat bermanfaat bagi para ahli teologi.
Sosiologi agama tidak memberikan penjelasan tentang benar dan salah, kebenaran Tuhan, aturan yang harus dijalankan, sebagaimana para teolog menjelaskannya. Sosiologi dalam mengkaji fenomena agama bertugas mencari hubungan yang muncul dari adanya agama dalam masyarakat dan sebaliknya. Seorang sosiolog tidak hanya mengkaji persoalan agama yang dianutnya tetapi ia mengambil agama-agama di luar dirinya dan membahasnya secara sosiologis. kajian terhadap agama sendiri memang cukup beragam, seperti kajian agama Emile durkheim, Max Weber, Karl Marx, sampai kemudian para tokoh sosiologi modern seperti Peter L. Berger, Thomams Luckmann, Yinger, Gregory Baum, dan lainnya.
Studi ini akan banyak menarik bantuan dari kajian sosiologi agama terutama dalam upaya menemukan pemahaman agama dalam hubungan timbal balik dengan masyarakat. Bagaimana masyarakat mendefinisikan agama, menafsirkannya, dan mengolah pengalaman dalam hidupnya dalam hubungannya dengan agama. Sosiologi agama bertugas memahami makna yang diberikan oleh masyarakat tertentu terhadap sistem agamanya sendiri dan berbagai antar hubungan agama tersebut (Scharf, 1995: 3).
Salah satu pembahasan terhadap agama dilakukan sosiologi pengetahuan, oleh Peter L Berger, dalam bukunya The Sacret Canopy dan The Social Reality of Religion, dan Thomas Luckman dalam ukunya The Invisble Religion. Berger memberikan pemahaman bahwa ada pengaruh timbal balik antar berbagai sistem makna, yang mencakup juga berbagai sistem agama, dan pengalaman sosial maupun perorangan yang dicoba tafsirkan oleh manusia berdasarkan sistem-sistem semacam itu (Scharf, 1995: 98).
Sistem makna sendiri merupakan produk sosial, bukan perorangan, yakni produk semua orang yang hidup dalam hubungan bersama satu sama lain pada suatu saat, dan juga merupakan produk nenek moyang mereka. Agama dalam dunia sosial adalah sistem makna yang tidak hanya merupakan kebenaran firman Tuhan (norrmatif), yaitu realitas transendental, tetapi ia pun adalah realitas historis yang tidak lepas dari bagaimana masyarakat manusia memilikinya dan menggunakannya dalam setiap konteks sosial tertentu. Sebagai realitas historis agama tidak lepas dari kesejarahan manusia dan kehidupannya yang berada dalam ruang dan waktu.
Pengalaman yang membentuk pengetahuan dalam setiap individu dan secara sosial dikonstruksikan sebagai cadangan pengetahuan bersama, dengan cadangan pengetahuan itulah kemudian lingkungan sosial diperlakukan. Pengetahuan setiap komunitas agama dalam dunia sehari-hari dibentuk oleh pengalaman interaksi diantara mereka. Interaksi antar komunitas agama, antara individu dalam suatu rentang ruang dan waktu, menghasilkan pengalaman dan pengetahuan yang spesifik. Seperti dalam pandangan Gofmann bahwa manusia masuk dalam situasi tatap muka, face to face, sebagai interaksi yang melibatkan penafsiran diantara mereka yang terlibat dengan pengalaman sebelumnya dan menciptakan pengalaman baru yang pada saat-saat tertentu merupakan pengalaman yang unik dan berpengaruh (Giddens, 1992: 4)
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-karakteristik spesifik. Kumpulan-kumpulan spesifik dari kenyataan dan pengetahuan berkaitan dengan konteks-konteks sosial yang spesifik, hal ini karena adanya fakta relativitas sosial. Pengalaman hidup dan agama membangun sistem makna yang menaungi pikiran individu-individu manusia. Makna yang muncul dari pengetahuan yang sudah mapan, sebagai cadangan pengetahuan, banyak menentukan bagaimana sikap dan tindakan itu muncul dalam dunia sehari-hari.
Pengetahuan komunitas-komunitas agama tentang orang lain, tentang tindakan orang lain, menciptakan makna yang saling berhubungan antara anggota-anggotanya dan membentuk sistem makna yang secara determinan memberikan perlakuan terhadap orang lain dalam interaksi tatap muka maupun tak langsung. Pengalaman para nenek moyang setiap komunitas agama yang telah diwariskan sebagai pengetahuan, dimana fenomen-feneomen itu nyata dan bersifat spsifik, menentukan apakah interaksi akan berjalan dengan lancar atau tidak.
Fenomena konflik antar komunitas agama merupakan gejala adanya interaksi antar pengetahuan dan kepentingan yang plural. Usaha saling mendominasi realitas sosial yang dilakukan melalui interaksi sehari-hari muncul dalam bentuk pembelaan, pembenaran, dan penggalian pengalaman komunitas agama masing-masing. Pada saat itulah masyarakat menentukan tindakan mereka dalam konflik agama dengan alasan yang ada dalam kepala masing-masing.
Elit Kekuasaan, Kepentingan, dan Konflik Sosial
Berger menunjuk negara sebagai lembaga kekuasaan yang paling besar dalam menentukan eksternalisasi individu-individu, yaitu tindakan penyesuaian diri kedalam dunia sosikultural yang muncul kedalam tindakan-tindakan tertentu. Namun negara sendiri, bagi Marx, adalah representasi sekumpulan kelas swasta yang mendominasi modal. Negara adalah organisasi politik yang diperebutkan sebagai alat untuk memiliki sumber daya langka, ekonomi dan politik, oleh kelompok-kelompok politik, atau kelompok-kelompok satrategis dalam istilah Hans Dieters-Ever (1990), dalam masyarakat. Setiap kelompok memiliki tokoh-tokoh penting yang berpengaruh dan memiliki kekuasaan dalam mengarahkan tindakan individu-individu, mereka adalah para elit kekuasaan yang sering membangun opini publik dalam proses perjuangan kepentingan mereka.
Charles. W. Mills ( The Power Elite,1956) mempunyai pengertian bahwa elit kekuasaan dikomposisikan dari orang-orang yang memungkinkan mereka melebihi lingkungan biasa dari orang-orang biasa, laki-laki atau perempuan; mereka ada di posisi pembuatan keputusan yang memiliki konsekuensi besar. Mereka menempati posisi pimpinan strategis dari struktur sosial, seperti pimpinan partai politik atau keagamaan, dimana dipusatkan alat-alat efektif dari kekuasaan dan kekayaan dan kemasyuran dimana mereka menikmatinya.
Elit kekuasan bukan penguasa negara. Mereka adalah para politisi profesional dari level menengah kekuasaan, dalam kongres (legislatif; MPR/DPR untuk Indonesia) dan dalam kelompok-kelompok penekan, sama halnya diantara golongan kelas baru dan lama kota atau wilayah. Posisi penting mereka dalam mempengaruhi opini publik dan mengarahkan tindakan sosial massa merupakan keahlian yang dimiliki karena tingkat pengetahuan dan kepemilikan mereka terhadap alat-alat kekuasaan, seperti usaha ekonomi, politik dan militer. Secara empiris elit dalam masyarakat Ambon pun telibat dalam bidang-bidang itu, militer, ekonomi, dan politik keagamaan. Para elit yang berpengaruh di Ambon, lokal dan nasional, secara teoritis dan empiris memperlihatkan kemampuan dan peran mereka dalam mengarahkan situasi.
Pada dasarnya elit kekuasaan tidak melepaskan kegiatan dan tindakannya dari kepentingan-kepentinganya. Studi Mills di Amerika tentang elit yang mendominasi melalui militer, ekonomi, dan wilayah politik atau partai politik mempunyai kesempatan yang besar dan kemampuan meningkatkan posisinya, sebagai orang-orang yang terpandang dalam publik. Privilege mereka dalam struktur masyarakat adalah karena faktor-faktor penguasaan mereka terhadap kekayaan, politik, dan juga militer. Kepentingan para elit dalam memperoleh dan memperkuat posisinya tidak cukup hanya menjadi perjuangan dalam rapat-rapat kongres tetapi mereka menghendaki adanya dukungan dan situasi yang menguntungkan mereka. Dukungan itu adalah masyarakat yang mereka kendalikan dengan kekuatan mereka, secara ekonomi mapun pengaruh sosial.
Tokoh-tokoh sebelum Mills, seperti Vilvedro Pareto, Gaetano Mosca (1859-1941), dan Robert Michels (1876-1936), memberikan argumentasi bahwa hanya sebagian kecil orang dalam organisasi dapat memegang wewenang, dan kedudukan posisi-posisi ini secara otomatis menempatkan mereka pada perselisihan. Elit yang dalam kontrol biasanya berbagi budaya umum, dan mereka diorganisir, tidak perlu formal, tetapi mereka melakukan tindakan bersama mempertahankan posisi mereka, bersama dengan penggunaan ini pada keuntungan individu mereka sendiri. Pada saat seperti itulah biasanya terjadi tarik menarik antara massa pendukung para elit. Lain kata, teori elit menjelaskan secara eksplisit argumen bahwa kepentingan pribadi orang-orang dan kekuatan intrinsik yang tak sama membuat konflik yang tak terhindarkan dan permanen (Wallcae &Wolf, 1986: 68-69).
Pertanyaanya apakah bila ada konflik elit politik maka ada konflik antara komunitas-komunitas dalam masyarakat? Kemampuan elit mengarahkan situasi, kepentingan mereka dalam struktur sosial dan politik, dan konflik diantara mereka, tidak cukup berhenti pada ruang terbatas dimana mereka memperebutkan sesuatu yang harus mereka miliki tetapi keikutsertaan masyarakat dalam proses konflik itu. Persoalan konflik dalam masyarakat memang tidak selalu dapat ditebak dengan cepat dan tepat karena hubungan yang cukup rumit untuk menjelaskan antara kepentingan masyarakat awam, dan kepentingan para elit, dalam dunia sosial yang luas. Pada dasarnya kepentingan elit dan masyarakat awam tidak berada di kursi yang sama. Sehingga untuk mengetahui bagaimana peran elit dalam mempengaruhi masyarakat awam adalah dengan memahami bentuk pengetahuan masyarakat yang paling penting dan kepentingan mereka sehari-hari, dan bagaimana kemudian kepentingan para elit itu juga duduk di kesadaran masyarakat.
Studi ini menyadari bahwa hubungan antara elit dan masyarakat awam tidak dapat dijelaskan secara bersamaan. Analisis yang dikembangkan di sini tidak akan menjelaskan bagaimana terbentuknya kepentingan elit dalam suatu konflik sosial dan cita-cita politik mereka namun bagaimana elit ikut terlibat dalam proses pembentukan kesadaran masyarakat awam dalam menentukan tindakan mereka. Tindakan-tindakan masyarakat awam dalam dunia sehari-hari yang diperintahkan secara langsung oleh pengetahuannya terhadap lingkungan sosial atau terhadap orang lain, yang dalam kondisi atau fase tertentu, konflik adalah satu fenomena yang mengikutinya. Karena tindakan masyarakat dalam pluralitas pengetahuan dan kepentingan, serta adanya kehendak dominan maka terbangun konflik diantara mereka secara fisik maupun tidak. Atau lugasnya bagaimana konflik agama di Ambon Maluku adalah sebagai hasil konstruksi sosial para elit kekuasaan.
Studi Wacana, Dominasi dan Bahasa
Persoalan realitas sosial adalah kepentingan apa dan siapa yang mendominasi di dalamnya. Negara, menurut Berger dan Lukcmann, adalah lembaga terbesar yang paling kuat dalam mengkaselarasikan kepentingan di wilayah publik. Karena negara mempunyai aparat-aparat, seperti birokrasi dan militer yang merupakan pentungan untuk memaksa, maka ia dapat membentuk atau menentukan realitas sosial dalam koridor kepentingan mereka. Tetapi bagaimana bila negara tidak lagi memiliki pusat kekuasaan, dimana kemampuannya semakin kecil dan kehilangan mengontrol ‘pentungannya’?
Kekuatan pada akhirnya akan beralih kepada para penguasa dalam komunitas-komunitas sosial, mereka adalah para elit dalam masyarakat. Elit kekuasaan memiliki kemampuan mengarahkan situasi dan mempengaruhi publik dengan apa-apa yang mereka miliki. Mills (The Powers Elit, 1956) menyebutkkan bahwa elit kekuasaan berada dalam daerah-daerah strategis, yaitu militer, ekonomi, dan politik.
Negara bukan merupakan organ yang sendiri atau tunggal dimana ia berdiri sebagai kesatuan kekuasaan dan kesatuan perwakilan masyarakat namun lebih sebagai presentasi minoritas kelompok yang berkuasa yang mengatur kelompok lebih besar. Para elit menekankan kepentingannya dengan mengelola masyarakat sebagai kekuatan politisnya melalui pembentukan opini, membangun wacana dalam publik, dan melakukan pengorgasiran kelompok-kelompok militan yang mendukungnya. Kaum elit yang berada dalam struktur kekuasaan dapat mengambil keuntungaan dari situasi ini dengan menggunakan media massa sebagai alt indoktrinisasi dan persuasi (Mills, 1956: 243-268)
Ketika elit kekuasaan menyatakan kepentingannya, orang merasa itu juga sebagai kepentingannya sendiri. Posisi dominan kelompok elit di dalam masyarakat melakukan komunikasi politik, dan kemudian terbentuklah suatu pola hubungan memberi dan menerima, artinya bagaimana elit masyarakat menggunakan kekuasaannya kepada kelompok masyarakat, dan bagaimana masyarakat itu menanggapi serta menerima keinginan-keinginan kelompok politik (Suryadi, 1993: 72).
Wacana yang dibangun elit tertanam dalam setiap orang yang mengikutinya, membenarkannya, dan terlibat dalam perdebatan wacana dengan orang-orang lain yang berbeda. Kepentingan para elit dalam wacana itu, yang telah dibenarkan masyarakat grass root, menjadi selaras dengan kepentingan masyarakat tanpa harus menyadari bahwa di balik itu semua telah terjadi penindasan terhadap kepentingan mereka yang sebenarnya. Kondisi ini adalah kondisi alienasi, seperti yang dipikirkan Marx, atau menurut Marcuse (1964) sebagai desublimasi represif. Bagi kalangan posmodernisme hal itu adalah regime of significance yang cenderung melakukan dominasi dan hegemoni makna atas berbagai persitiwa, pengetahuan, kesadaran, dan wacana.
Sebagaimana Foucault melihat bahwa wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran di sini, oleh Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit, bukan juga sebuah konsep yang abstrak. Akan tetapi ia diproduksi, setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkjan tersebut. Di sini, setiap kekuasaan berpretensi mengahasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan (Enriyanto, 2001: 48).
Wacana para elit merupakan suatu pesan politik yang dikemas dengan teknik pemasaran yang sebaiknya dibaca sebagai perembesan nilai komersial ke dalam politik dan perembesan itu, tanpa disadari oleh semua pelaku politik, tiba-tiba sebuah budaya baru muncul, atau lebih tepatnya kerangka besar kolonialisme budaya itu menjadi nyata, dan amat bersifat politis (Subangun, 1999: 46). Kelompok-kelompok politik dan para elit itu menciptakan kerangka besar kolonialisme budaya yang pada dasarnya berusaha mengontrol kehidupan sosial politik masyarakat dan dengan begitu masyarakat kapan pun bisa menjadi perajurit yang mendukung kepentingan mereka tanpa harus membayar dengan apapun terhadap masyarakat.
Wacana yang diproduksi sebagai pemasaran komersil oleh para elit merembes kedalam kesadaran masyarakat dan menciptakan tindakan-tindakan tertentu. Pada gilirannya ketika wacana yang plural, karena adanya para elit yang berbeda-beda kepentingan dan tujuannya itu, dipraktekkan melalui bahasa yang tidak lepas dari kooptasi, dominasi, dan hegemoni sebagai adanya kebudayaan yang mempengaruhi masyarakat. Bahasa bukan semata-mata alat komunikasi atau sebuah nilai yang secara wenang-wenang menunjuk suatu realitas monolitik. Bahasa adalah suatu kegiatan sosial, yang secara sosial, terikat, dikonstruksi, dan dikrekonstruksi dalam kondisi khusus dan social setting tertentu daripada menurut hukum yang diatur secara universal.
Setiap elit memiliki ‘daerah jajahan’ wacananya sendiri, sebagai rezim kebenaran dalam relasi mereka dengan massa dan pada gilirannya kepentingan menjadikan wacana yang merupakan pengetahuan tertentu itu tidak lagi bersifat universal, alias sebagai ideologi. Ideologi memiliki kaitan dengan bahasa, karena bahasa adalah juga sebagai intrumen kekuasaan. Menurut J.B Thompson (1990), dalam bahasalah secara primer makna dimobilisasi dalam kepentingan kelompok maupun individu tertentu. Bahasa kemudian merupakan cara kekuasaan menyampaikan kepentingannya, dan digunakan untuk menggerakkan pemaknaan di bawah benderanya. Setiap kepentingan kelompok-kelompok sosial maupun individu ikut terlibat dalam proses sosial yang menyebabkan perubahan, pergantian, secara terus menerus tanpa akhir dengan bahasa menjadi perjuangan dan alat kepentingan itu sendiri.
Perkembangan selanjutnya ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi, semakin pesat dan banyak dipengaruhi oleh situasi dimana perkembangan itu muncul. Akar teori dari tokoh-tokoh klasik di atas berkembang kedalam mainstream-mainstream sosiologi modern. Kita dapat mencatat tokoh-tokoh sosiologi modern seperti Ralp Dahrendorf (Dialektika Konflik), Lewis Coser (Konflik dan Perubahan Sosial), Talcot Parsons (Teori Sistem), Robert K. Merton (Fungsionalisme Struktural), Herbert Mead (interaksionisme Simbolik), Alfred Szhust (Fenomenologi), Karl Manheim (Sosiologi Pengetahuan), Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (Teori Konstruksi Sosial), Adorno, J. Habermas (Madzab Kritis; teori tindakan komunikatif).
Madzab kritis, terutama dalam pemikiran Juergan Habermas, sering disamakan dengan sosiologi pengetahuan. Terutama dalam penjelasannya tentang hubungan antara sistem pengetahuan dan kepentingan. Walaupun sosiologi pengetahuan tidak memiliki semangat melakukan transformasi sosial sebagaimana semangat madzab kritis. Kepentingan sosiologi pengetahuan menurut Habermas, sebagaimana ia merupakan ilmu yang bersifat historis heurmenitik, adalah komunikasi intersubjektif. Masih banyak lagi tokoh-tokoh sosiologi modern yang mengembangkan teori-teori baru yang berakar pada tokoh-tokoh klasik. Selain itu ilmuwan di era ini seperti Johan Galtung, Ted Gurr, dan Charles Tilly adalah tokoh-tokoh ilmuwan sosial yang menganalisis persoalan konflik sosial.
Pada era ini nama-nama baru yang penting, seperti Johan Galtung dan Charles Tilly (McQuarrie, 1995), melakukan analisis mereka tentang konflik kekerasan yang selain mengembangkan kerangka teori konflik sebelumnya juga telah mengembangkan analisis konflik dalam perhatian mereka di situasi global.
Konsepsi Johan Galtung yang penting adalah pendapatnya tentang hubungan antara kekerasan dengan kekuasaan (Windhu, 1992: 111-117). Kekerasan langsung seringkali didasarkan atas penggunaan kekuasaan sumber (resource power), dan kekerasan struktural yang didasarkan pada penggunaan kekuasan struktural. Kekuasaan sumber dibedakan menjadi kekuasaan punitif yang bersifat menghancurkan, kemudian kekuasaan ideologis dan kekuasaan renumeratif. Baik kekuasaan sumber dan kekuasan struktural saling berkaitan, saling memperkuat.
Galtung mengungkapkan kekerasan struktural dan personal dapat menghalangi untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kebutuhan-kebutuhan dasar ini adalah kelestarian atau keberlangsungan hidup, kesejahteraan, kebebasan, dan identitas. Jika empat kebutuhan dasar ini mengalami tekanan atau kekerasan dari kekuasaan personal dan struktural, maka konflik kekerasan akan muncul ke permukaan sosial.
Jalur sosiologi pengetahuan sendiri sebenarnya tidak merupakan jalur ekslusif yang berseberangan secara total terhadap aliran-aliran penting. Proposisi pemikiran dari Marx, Weber, Durkheim kemudian fenomenologi Szchust sangat berperan sehingga tidak disangkal bahwa sosiologi pengetahuan, terutama konstruksi sosial Berger dan Luckman, adalah usaha meniti dua kutub antara kubu kanan dan kiri.
Sosiologi pengetahuan terutama dalam karya Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966) tentang konstruksi sosial atas kenyataan pada dasarnya secara konseptual adalah usaha untuk menjembatani analisis mikro dan makro, antara teori tindakan dan struktural (Wallace&Wolf, 1986, Poloma, 1993). Sosiologi konflik sendiri pada dasarnya adalah analisis struktural (fakta sosial) yang mengurangi aspek tindakan dan pemaknaan sosial (Turner, 1985). Ini bukan berarti bahwa perbedaan antara sosiologi pengetahuan dengan sosiologi konflik adalah adanya unsur analisis pemaknaan tindakan sosial an sich dalam sosiologi pengetahuan. Perbedaan mendasar yang dapat ditangkap adalah bagaimana keduanya menjelaskan realitas sosial dan bagaimana masyarakat menghadapinya. Sosiologi pengetahuan banyak terlibat dalam proses tersebut.
Sosiologi konflik mempunyai asumsi bahwa masyarakat selalu dalam kondisi bertentangan, pertikaian, dan perubahan. Semua itu adalah sebagai bagian dari terlibatnya kekuatan-kekuatan masyarakat dalam saling berebut sumber daya langka dengan menggunakan nilai-nilai dan ide (Ideologi) sebagai alat untuk meraihnya (Wallace&Wolf, 1986). Hal ini sama dengan asumsi sosiologi pengetahuan Berger dan Luckmann yang menyebutkan adanya momen dialektis dalam masyarakat yang melibatkan kelompok-kelompok kepentingan dan ideologi. Dahrendorf menyebut analisisnya dengan konflik dialektis yang menjelaskan proses terus menerus distribusi kekuasaan dan wewenang di antara kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association). Sehinga kenyataan sosial, bagi Dahrendorf, merupakan siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi dari sistem sosial (Turner, 1985).
Sosiologi pengetahuan Berger dan Luckmann pun mempunyai pendapat yang sama bahwa masyarakat selalu berada dalam proses dilaketis yang meliputi tiga proses simultan, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Hanya saja studi konflik banyak melibatkan penjelasan struktural tanpa bersedia menjelaskan lebih lanjut bagaimana konflik dalam masyarakat terbentuk dengan proses-proses sosial yang mereka mereka miliki. Komitmen sosiologi konflik adalah studi sosiologi yang melihat gejala sosial dengan suatu jawaban kokoh dan tidak mencari jawaban historis yang bisa bersifat lain antara ruang kejadian satu dengan ruang yang lain.
Peta teori sosiologi konflik yang berelief Dahrendorf, Coser, Charles Tilly, Johan Galtung, sampai Ted Gurr yang mewakili tradisi positivisme, dan corak madzab kritis begitu dominan dalam lingkungan akademis. Sosiologi pengetahuan, terutama pemikiran konstruksi sosial atas kenyataan Berger dan Luckmann (1966/1990), masih harus mengembangkan dirinya. Menapaki masyarakat konflik dengan teori konstruksi sosial adalah hal baru di lingkungan akademis Indonesia, sehingga cukup menarik jika melihat fenomena konflik dari sini.