BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Jumat, 11 September 2009

Gaya Hidup

Gaya hidup didefinisikan sebagai cara hidup yang diidentifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu (aktivitas), apa yang mereka anggap penting dalam lingkungannya (ketertarikan), dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia di sekitarnya (pendapat) .

Gaya hidup hanyalah salah satu cara mengelompokkan konsumen secara psikografis. Gaya hidup pada prinsipnya adalah bagaimana seseorang menghabiskan waktu dan uangnya. Ada orang yang senang mencari hiburan bersama kawan-kawannya, ada yang senang menyendiri, ada yang bepergian bersama keluarga, berbelanja, melakukan kativitas yang dinamis, dan ada pula yang memiliki dan waktu luang dan uang berlebih untuk kegiatan sosial-keagamaan. Gaya hidup dapat mempengaruhi perilaku seseorang, dan akhirnya menentukan pilihan-pilihan konsumsi seseorang

Teori Sosiologi Modern

Teori Sosiologi Modern
MANUSIA adalah masyarakat dalam bentuk miniatur. Ketika dia berkomunikasi dengan dirinya sendiri, dia bisa menjadi subyek dan sekaligus obyek. Dalam komunikasi itu pula, manusia berpikir, menunjuk segala sesuatu, menginterpretasikan situasi, dan berkomunikasi dengan dirinya sendiri dengan cara-cara berbeda.
Berpikir berarti berbicara kepada diri sendiri, sama seperti cara kita berbicara dengan orang lain. Percakapan dengan diri sendiri sebagian besar dilakukan dengan diam. Tanpa diri sendiri, manusia tidak akan mampu berkomunikasi dengan orang lain, sebab hanya dengan itu, maka komunikasi efektif dengan orang lain bisa terjadi.
Dari situ akan terdapat banyak ‘arti’. Individu yang menyampaikan ‘arti’ pada dirinya sendiri, pada saat itu juga ia memberikan ‘arti’ pada orang lain. Perasaan terhadap diri seseorang dibentuk dan didukung oleh respon orang lain. Jika seseorang konsisten menunjukkan dirinya dalam pelbagai perbedaan, maka dia juga harus menerima perlakuan orang lain sesuai yang dia berikan padanya.
Jika seseorang secara konsisten ditertawakan dan diremehkan, maka tampaknya tak ada sesuatu yang lain yang dia anggap pada dirinya kecuali bahwa dirinya memang rendah. Jika seseorang kerap diabaikan –terutama di dalam situasi di mana dirinya minta untuk diperhatikan–, maka dia akan sangat yakin bahwa dirinya memang benar-benar tak berguna. Dan inilah yang dibincangkan dalam dalam teori interaksionisme simbolis.
Riyadi Soeprapto (2002), “Teori Interaksionisme Simbolik, Perspektif Sosiologi Modern” (241 Hlm)
http://www.averroespress.net/press-corner/katalog-buku/326-teori-interaksionisme-simbolik-perspektif-sosiologi-modern.html
1. Positivisme memilikin beberapa ciri-ciri, yaitu:
a. Membahas segala sesuatu berdasarkan apa yang sebenarnya dan dapat dirasakan oleh panca indra.
b. Membahas melalui pengalaman dan kebenarannya bisa dibuktikan secara ilmiah.
c. Fakta yang ada tidak berkaitan dengan nilai.
d. Objek memiliki nilai dan manfaat
2. Kelemahan konvensionalisme adalah diantaranya konvensionalisme dianggap berlawanan dengan real atau kenyataan dan hanya melihat melalui makna, ide dan intepretasi. Maka teori ini dapat dikatakan teori yang bersifat ilusionis karena hanya memikirkan makna yang terkandung saja. Teori ini juga selalu dapat berubah-ubah menyesuaikan perkembangan jaman.
3. Realisme adalah suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa inti dari segala sesuatu berdasarkan dengan kenyataan yang ada.
4. Konvensionalisme sendiri melihat segala sesuatu berdasarkan pada makna, ide dan intepretasi. Sedangkan positivisme melihatnya berdasarkan kenyataan saja. Maka menurut konvensionalisme, positivisme dianggap tidak dapat melihat makna dibalik kenyataan itu sendiri. Positivisme hanya dapat melihat suatu masalah melalui konsep, teori dan hukum.
5. Menurut Anthony Giddens, modernitas ialah suatu tatanan pasca masyarakat tradisional, meski di dalamnya keyakinan yang diperoleh dari pengetahuan rasional belum menggeser kemantapan dan kedamaian jiwa yang diperoleh dari tradisi dan norma-normanya. Sedangkan menurut istilah modernitas yaitu adanya perubahan dengan memperhatikan adanya perubahan jaman, sosial, ekonomi dan budaya.
Ciri-ciri modernitas adalah linier, sirkuler dan alam sebagai objek sedangkan manusia sebagai objek
6. Manusia dapat menemukan modernisasi saat manusia sudah sadar bahwa dirinya sebagai subjek yang berfikir. Namun modernitas cenderung menempatkan manusia hanya sebagai objek dan bukan subjek. Manusia bukan lagi sebagai pelaku perubahan dalam pusaran modernisasi tersebut. Tapi lebih sering terseret dalam jaring-jaring modernisasi yang menumpulkan kesadaran kritisnya.
7. Rasio dapat menciptakan modernitas. Dimana dengan rasio yang kuat dapat dikembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian menjadi sarana untuk menciptakan kehidupan yang sejahtera untuk memajukan rakyat banyak. Namun rasio yang berlebihan juga dapat berpengaruh buruk. Maka harus diseimbangkan antara rasio dan rasa.
8. Akal budi pencerahan disebut juga sebagai nalar. Akal budi pencerahan adalah usaha dari manusia untuk mencapai pengertian rasional dirinya dan makna emasipatoris (pembebasan manusia berdasarkan kedaulatannya).
9. Kritik Horkheimer dan Adorno mengenai akal budi pencerahan, dimana pencarian akan akal budi pencerahan ini akan membuat pengaruh jangka panjang yang buruk seperti rasionalitas dan penindasan serta menetang hak asasi. Pencerahan tersebut hanya dapat dinikmati oleh dirinya sendiri. Pencerahan merupakan proyek penyingkiran mitos-mitos dalam akal budi telah melahirkan cara berfikir yang disebut rasio kritis.
10. Menurut Horkheimer, teori tradisional merupakan teori ideologis. Dimana teori ini berusaha untuk memecahkan segala fenomena dan masalah yang ada. Teori ini bersifat netral, ahistori dan tidak adanya kesatuan antara teori dan praxis.
Contoh teori tradisional adalah teori suicide (bunuh diri) yang dikemukakan oleh Emile Durkheim. Karena teori ini hanya mengupas luarnya saja, tidak sampai begitu mendalam.
11. Teori kritis adalah sebuah perspektif teoritis yang elektik dan sumber pemikirannya bisa diambil dari pemikir-pemikir sebelumnya dan disatukan dengan teoritis yang sama. Teori kritis lebih kepada mengkritisi dan mencari kelemahan dari suatu teori untuk kemudian diformulasikan menjadi teori yang kuat.
12. Kritik (dalam KBBI) adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb. Kata kritik diturunkan dari bahasa Yunani Kuno yaitu krités, artinya “orang yang memberikan pendapat beralasan” atau “analisis”, “pertimbangan nilai”, “interpretasi”, atau “pengamatan”.
13. Akal budi instrumental adalah akal budi atau rasio yang menekankan diri sebagai alat sarana demi membuahkan guna.
14. Menurut Horkheimer dilema usaha rasional manusia itu adalah terbenamnya akal budi objektif dan digantikan akal budi yang melulu instrumentalis. Dimana manusia mencoba sadar dan mencari rasionalitas untuk mencapai suatu tujuan secara terus menerus namun pada akhirnya manusia tersebut hanya kembali kepada irrasionalitas.
15. Strukturalisme adalah sebuah pemikiran filsafat yang menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi. Strukturalisme merupakan krangka berfikir dari banyak pemikiran-pemikiran modern.
Contoh konkrit dari strukturalisme adalah sistem bahasa di masyarakat.
16. Menurut Foucault, pengetahuan adalah bagian dari strategi kuasa, sehingga dengan sendirinya bersifat subyektif. Pengetahuan adalah keinginan untuk tahu / mengetahui yang berkaitan dengan proses dominasi atas obyek-obyek yang berkaitan dengan manusia.
17. Foucault mengemukakan bahwa pengetahuan dilahirkan atas kuasa. Namun kuasa sendiri mempunya efek kuasa. Dimana kuasa berkembang sesuai dengan perkembangan kuasa.
18. Fungsi arsip : mengumpulkan pernyataan-pernyataan untuk dapat dibakukan.
Fungsi regulasi : membuat norma-norma dari arsip yang sesuai dengan masyarakat.
Fungsi normalisasi: menyesuaikan antara norma dengan masyarakat melalui umpan balik (feedback) dari masyarakat itu sendiri.
19. Menurut Derrida pemikiran “ada” sebagai kehadiran yang juga disebut olehnya sebagai metafisik. Selain itu kehadiran dihubungkan dengan tanda untuk menggantikan yang tidak hadir dan tanda sebagai bekas. Jika dihubungkan, kehadiran timbul sebagai efek bekas. Kumpulan hubungan tersebutlah yang disebut “teks” oleh Derrida yang selalu berkaitan dengan teks yang lain.
20. Teori kritis digunakan untuk menguji suatu pendapat. Selain itu mengetahui kebenaran dari suatu pendapat, sebagai penyeimbang dari teori-teori yang ada.
http://marthinoes.blogspot.com/2009/07/pertanyaan-teori-sosiologi-kritis.html
IBNU Khaldun mencetus pemikiran baru apabila menyatakan sistem sosial manusia berubah mengikut kemampuannya berfikir, keadaan muka bumi persekitaran mereka, pengaruh iklim, makanan, emosi serta jiwa manusia itu sendiri.
Beliau juga berpendapat institusi masyarakat berkembang mengikut tahapnya dengan tertib bermula dengan tahap primitif, pemilikan, diikuti tahap peradaban dan kemakmuran sebelum tahap kemunduran.
Pandangan Ibnu Khaldun dikagumi tokoh sejarah berketurunan Yahudi, Prof Emeritus Dr Bernerd Lewis yang menyifatkan tokoh ilmuwan itu sebagai ahli sejarah Arab yang hebat pada zaman pertengahan.
Felo Amat Utama Akademik Institut Antarabangsa Pemikiran dan Ketamadunan (Istac), Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM), Muhammad Uthman El-Muhammady pula melihat pendekatan Ibnu Khaldun secara sejagat.
Sumbangan Ibu Khaldun, perintis ilmu sosiologi moden dapat disaksikan melalui siri Ilmuwan Islam di TV3, malam ini.
Episod kali ini yang diterbitkan Mohd Fasil Mohd Idris, bakal membawa penonton mengenali lebih dekat ilmuwan kelahiran Tunisia yang banyak menghasilkan karya untuk rujukan umat Islam dan bangsa lain masa kini.
Dilahirkan di Tunisia, keluarga Ibnu Khaldun sebenarnya berasal dari wilayah Seville, Sepanyol, ketika dalam pemerintahan Islam.
Ketika zaman kanak-kanak, beliau mempelajari al-Quran daripada orang tuanya sebelum melanjutkan pengajian ke peringkat tinggi sambil dibantu sejarawan dan ulama Tunisia serta Sepanyol.
Pada 1375, beliau berhijrah ke Granada, Sepanyol kerana mahu melarikan diri daripada kerajaan di Afrika Utara.
Bagaimanapun, keadaan politik Granada tidak stabil, lantas mendorong beliau untuk merantau ke Aljazair (bahagian utara Semenanjung Tanah Arab). Di sini, beliau tinggal di kampung kecil iaitu Qalat Ibnu Salama.
Di situ juga beliau menghasilkan beberapa karya terkenal termasuk al Ibar Wa Diwan al-Mubtad Wa al-Khabar. Kitab ini mengandungi enam jilid dan paling terkenal, kitab Mukaddimah.
Sehingga kini kitab itu menjadi rujukan umat Islam, khususnya dalam ilmu kajian sosial, politik, falsafah dan sejarah.
Kitab Mukaddimah menghuraikan beberapa peristiwa dalam kehidupan masyarakat, proses pembentukan negara, faktor kemajuan serta kemunduran, selain menerangkan beberapa perkara yang berkaitan bidang perniagaan, perindustrian dan pertanian.
Karya Ibnu Khaldun yang menakjubkan itu membolehkan beliau digelar sebagai Prolegomena atau pengenalan kepada pelbagai ilmu perkembangan kehidupan manusia di kalangan ilmuwan Barat.
Dalam pada itu, Ibnu Khaldun mengutarakan pandangannya bagi memperbaiki kesilapan dalam kehidupan menjadikan karya beliau seumpama ensiklopedia yang mengisahkan pelbagai perkara dalam kehidupan sosial manusia.
Kajian yang dilakukan Ibnu Khaldun bukan hanya mencakupi kisah kehidupan masyarakat ketika itu, malah merangkumi sejarah umat terdahulu.
Selain sebagai ilmuwan dalam bidang sosial, Ibnu Khaldun, mampu mentadbir dengan baik apabila dilantik sebagai kadi ketika menetap di Mesir.
Kebijaksanaannya mendorong Sultan Burquq iaitu Sultan Mesir ketika itu memberi gelaran Waliyuddin kepada Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun juga memajukan konsep ekonomi, perdagangan, kebebasan dan terkenal kerana hasil kerjanya dalam bidang sosiologi, astronomi, numerologi, kimia serta sejarah.
Beliau membangunkan idea bahawa tugas kerajaan hanya terhad kepada mempertahankan rakyatnya daripada keganasan, melindungi harta persendirian, menghalang penipuan dalam perdagangan dan menguruskan penghasilan wang.
Pemerintah juga melaksanakan kepemimpinan politik bijaksana dengan perpaduan sosial dan kuasa tanpa paksaan.
Dari segi ekonomi, Ibn Khaldun memajukan teori nilai dan hubung kaitnya dengan tenaga buruh, memperkenalkan pembahagian tenaga kerja, menyokong pasaran terbuka, menyedari kesan dinamik permintaan dan bekalan ke atas harga dan keuntungan.
Beliau turut menyokong perdagangan bebas dengan orang asing, dan percaya kepada kebebasan memilih bagi membenarkan rakyat bekerja keras untuk diri mereka sendiri.
Wacana atau pemikiran Ibnu Khaldun turut diterjemah ke dalam kehidupan masyarakat moden yang mahu mengimbangi pembangunan fizikal dan spiritual seperti Malaysia yang sedang menuju status negara maju.
Secara teorinya, ilmu itu dikaitkan dengan soal manusia dalam masyarakat dan ahli sosiologi berharap ilmu berkenan dapat menjalinkan perpaduan serta membentuk penawar kepada krisis moral yang dihadapi masyarakat hari ini.
Istilah sosiologi walaupun dicipta tokoh kelahiran Perancis abad ke-19, Aguste Comte, kajian mengenai kehidupan sosial manusia sudah dihurai oleh Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah, 500 tahun lebih awal, pada usianya 36 tahun
http://perpustakaan-online.blogspot.com/2008/04/tokoh-sosiologi-modern-ibnu-khaldun.html]
I. PENGANTAR Tulisan ini telah menyita perhatian karena telah merubah cara kita berpikir tentang teori-teori sosial dan kita berharap bahwa kita akan berlaku sama untuk yang lain. Tulisan ini menjelaskan dan membantu mengatasi apa yang kiranya menjadi sumber utama kebingungan dalam ilmu-ilmu sosial pada saat sekarang. Pada awalnya tulisan ini hanya bermaksud menghubungkan teori-teori organisasi dalam konteks kemasyarakatan yang lebih luas. Tetapi, dalam wacana yang lebih luas, tulisan ini sekaligus juga mencakup banyak aspek dari filsafat dan teori sosial secar umum.
Dalil kami adalah bahwa teori sosial dapat secara mudah dipahami dari empat kunci paradigma, yang didasarkan atas perbedaan anggapan metteori tentang sifat dasdar ilmu sosial dan sifat dasar dari masyarakat. Empat paradigma itu dibangun atas pandangan-pandangan yang berbda mengenai dunia soisal. Masing-masing pendirian menghasilkan (melahirkan) analisanya sendiri-sendiri mengenai kehidupan sosial. Masing-masing paradigma melahirkan teori-teori dan pandangan-pandangan yang didalamnya terdapat pertentangan fundamental yang ditimbulkan dalam paradigma lainnya.
Sejumlah analisa-analisa teori sosial telah membawa kita berhadap-hadapan langsung dengan sifat dari asumsi-asumsi yang mengandung perbedaan pendekatan pada ilmu sosial.
II. ASUMSI-ASUMSI DASAR ILMU SOSIAL
Tesis utama dalam tulisan ini adalah bahwa semua teori tentang masyarakat didasarkan pada (atas) filsafat ilmu dan teori sosial tertentu. Filsafat dan teori ilmu sosial selalu mengandung empat anggapan dasar (asumsi): ontologis, epistemologis, pandangan tentang manusia (human nature), dan metodologi. Semua pakar ilmu sosial mendekati pokok kajian mereka dengan asumsi-asumsi (baik eksplisit maupun implisit) mengenai dunia sosial dan cara dimana dunia sosial diteliti.
Asumsi Ontologis / Hakekat sesuatu
Asumsi ini memperhatikan inti dari fenomena yang diamati. Para pakar ilmu sosial misalnya dihadapkan pada pertanyaan dasar ontologis: apakah realitas diteliti sebagai suatu yang berada di luar diri manusia yang merasuk ke dalam alam kesadaran seseorang; ataukah merupakan hasil dari kesadaran seseorang? Apakah realitas itu merupakan keadaan yang obyektif atau hasil dari pengetahuan seseorang (subyektif)? Apakah realitas itu memang sesuatu yang sudah ada (given) di luar pikiran seseorang atau hasil dari pikiran seseorang.
Asumsi Epistemologis / Memperoleh kebenaran
Ini berkaitan dengan anggapan-anggapan dasar mengenai landasan ilmu pengetahuan, yaitu bagaimana seseorang mulai memahami dunia sosial dan mengkomunikasikannya sebagai pengetahuan kepada orang lain. Anggapan dasar ini berkaitan juga dengan bentuk-bentuk pengetahuan apa saja yang bisa didapat dan bagaimana seseorang memilah-milah mana yang dikatakan “benar” dan “salah”. Dikotomi benar dan salah itu sendiri menunjukkan pendirian atau sikap epistemologi tertentu. Didasarkan atas pandangan tentang sifat ilmu pengetahuan itu sendiri: apakah misalnya mungkin mengenal dan mengkomunikasikan sifat ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang wujud nyata dan dapat disebarkan atau diteruskan dalam bentuk nyata; atu apakah ilmu pengetahuan itu merupakan sesuatu yang lebih halus (tidak berujud), lebih mempribadi, bersifat rohaniah dan bahkan mengatasi kenyataan (transendental) yang lebih didasarkan pengalaman dan pengetahuan pribadi yang unuk dan hakiki? Di sini epistemologi menentukan posisi yang ekstrim: apakah pengetahuan itu sesuatu yang dapat diperoleh (dipelajari) dari orang lain atau sesuatu yang dimiliki atas dasar pengalaman pribadi.
Asumsi Hakekat Manusia
Ini terutama mengenai hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Semua ilmu sosial secara jelas harus didasarkan pada asumsi ini, karena kehidupan manusia hakekatnya adalah subyek sekaligus obyek dari pencarian dan penemuan pengetahuan. Kita dapat mengindentifikasi pandanngan ilmu sosial, yang mengandung pandangan manusia dalam menanggapi keadaan-keadaan di luar dirinya secara mekanistik atau deterministik. Pandangan ini mengarahkan manusia bahwa manusia dan pengalamnnya dihasilkan oleh lingkungan, manusia dibentuk oleh keadaan sekitar di luar dirinya. Pandangan ini dipertentangkan dengan anggapan bahwa manusia memiliki peran penciptaan yang lebih besar, memiliki kemauan bebas (free will), menduduki peran kunci, bahwa seseorang adalah pencipta lingkungan sekitarnya, pengendali dan bukan dikendalikan, sebagai dalang (master) bukan wayang (marionette). Dalam dua pandangan ekstrim ini.
Asumsi Metodologis
Anggapan-anggapan dasar tersebut memiliki konsekuensi penting dalam hal cara seseorang menemukan pengetahuan tentang dunoia sosial. Perbedaan asumsi ontologis, epistemologis, dan asumsi kecenderungan manusia akan membawa ahli ilmu sosial ke arah perbedaan metodologis, bahlkan di kalangan ahli ilmu alam tradisional sekalipun yang jurang perbedaan mereka sangat tipis. Menelusuri metodologi yang digunakan kedua kubu itu sangatlah mungkin. Penganut paham ekstrim pertama, analisisnya akan dipusatkan pada hubungan-hubunhan dan tatanan-tatanan antara berbagai unsur yang membentuk masyarakat dan menemukan cara yang dapat menjelaskan hubungan (relationship) dan keteraturan (regularity). Cara ini merupakan upaya mencari hukum-hukum yang dapat diberlakukan secara umum untuk menjelaskan kenyataan sosial. Penganut pandangan kedua, upayanya terarah pada berbagai masalah masayarakat yang berbeda dan dipahami dengan cara berbeda pula. Upayanya terpusat memahami cara seseorang menafsirkan, merubah dan membentuk dunia di mana ia berada. Tekanannya pada pemahaman dan pengertian khas dan unik setiap orang pada kenyataa yang umum. Menekankan sifat kenisbian kenyataan sosial. Pendekatan ini sering dianggap “tidak ilmiah” oleh penganut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan sosial.

Pengertian Komunikasi

Pengertian Komunikasi
Pada perang dunia ke II komunikasi belum dianggap sebagai sebuah ilmu dan hanya dianggap sebagai sebuah proses sosial. Dimasa ini baru di mulai penelitian penelitian mengenai komunikasi dan efek dari komunikasi tersebut.
Proses komunikasi adalah:
Komunikator -> Pesan (bisa berupa lisan maupun tulisan -> media -> komunikan-> efek -> perilaku
Hakekat Komunikasi
Memahami komunikasi berarti memahami apa yang terjadi selama komunikasi berlangsung, mengapa itu terjadi, manfaat apa yang dirasakan, akibat-akibat apa yang ditimbulkannya, apakah tujuan dari aktifitas berkomunikasi sesuai dengan apa yang diinginkan, memahami hal-hal yang dapat mempengaruhi dan memaksimalkan hasil-hasil dari kejadian tersebut.Menurut Anwar arifin (1988:17), komunikasi merupakan suatu konsep yang multi makna. Makna komunikasi dapat dibedakan berdasarkan:
Komunikasi sebagai proses sosial Komunikasi pada makna ini ada dalam konteks ilmu sosial. Dimana para ahli ilmu sosial melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan komunikasi yang secara umum menfokuskan pada kegiatan manusia dan kaitan pesan dengan perilaku.
Harold D. Lasswell meneliti masalah identifikasi simbol dan image yang bertolak belakang dengan realitas/efek pada opini publik. Berkaitan dengan efek-efek teknik propaganda pada perang dunia 1 (1927). Beliau seorang ahli politik, meneliti dengan cara meyebarkan leaflet mengenai perang.
Kurt lewin meneliti fungsi-fungsi komunikasi pada kelompok sosial informal. Lewin meneliti tipe-tipe gatekeeper yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin autokratik, demokratik. Lewin juga meneliti individu-individu yang ada pada kelompok-kelompok penekan dan individu-individu yang berada pada kelompok (members group). Soearang ahli psikologi.
Carl Hovland meneliti kredibilitas sumber (komunikator) hubungannya dengan efek persuasi (perubahan sikap). Hovland adalah peneliti yang memperkenalkan penelitian-peneltian eksperimental dalam komunikasi massa. Seorang ahli sosiologi, meneliti melalu pemutaran film berbeda kepada 2 kelompok berbeda, dan melihat efek dari film tersebut terhadap individu. Kredibiltas terdiri dari 1. Expert (ahli dalam bidang tersebut) 2. Competency (memiliki kompetensi) 3. Skill (harus memiliki kemampuan dalam bidang nya) 4. Trust (harus bisa di percaya)
Paul F.Lazarsfeld mengungkapkan hubungan antara status sosial, ekonomi, mass media exposure dan pengaruh interpersonal atau efek pengetahuan, sikap dan perubahan perilaku. Beliau seorang ahli matematika Teknik-teknik analisis yang digunakan oleh para peneliti tersebut memberikan contoh bagaimana menjelaskan sistem komunikasi dalam konteks proses sosial.
Komunikasi sebagai Peristiwa Dalam hal ini komunikasi mempunyai pengertian, bahwa komunikasi merupakan gejala yang dipahami dari sudut bagaimana bentuk dan sifat terjadinya. Peristiwa komunikasi dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria tertentu. Ada yang membedakan komunikasi
massa dengan komunikasi tatap muka, komunikasi verbal dan non verbal, komunikasi yang menggunakan media dan tanpa media.
Komunikasi sebagai Ilmu Struktur ilmu pengetahuan meliputi aspek aksiologi, epistomologi dan ontologi. Aksiologi mempertanyakan dimensi utilitas (faedah, peranan dan kegunaan). Epistomologi menjelaskan norma-norma yang dipergunakan ilmu pengetahuan untuk membenarkan dirinya sendiri. Sedangkan ontologi mengenai struktur material dari ilmu pengetahuan.
Komunikasi sebagai kiat atau keterampilan Komunikasi dipandang sebagai skill yang oleh individu dipergunakan untuk melakukan profesi komunikasi. Perkembangan dunia komunikasi di Indonesia pada masa yang akan datang menunjukkan prospek yang semakin cerah. Dengan demikian, masalah-masalah yang berhubungan dengan profesi komunikasi tetap menjadi agenda penting. Antara komunikasi dan bidang profesional terdapat kaitan yang signifikan. Dalam menunjang suatu profesi atau karir yang menuntut kemampuan pemahaman pada sifat dasar komunikasi, berkomunikasi secara kompeten dan efektif diperlukan dalam bidang kemampuan berkomunikasi (speech communication), komunikasi massa, komunikasi organisasi, komunikasi politik, public relations, periklanan, penyiaran (broadcasting) dan pemasaran.
Pengetahuan dan kemampuan komunikasi adalah dasar untuk kualitas kepemimpinan. Merupakan hal pokok untuk hubungan interpersonal, mempengaruhi dan perkembangan informasi dalam organisasi. Komunikasi juga memainkan peran penting dalam perencanaan, pengambilan keputusan, pemikiran strategis, memperoleh pengetahuan teknis dan menilai hasil.

Artikel

Artikel
Tema : Kemiskinan
Teori : Friedmann (1979) menyatakan bahwa kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial meliputi (tidak terbatas pada) : modal yang produktif atau asset, misalnya tanah, perumahan, peralatan, kesehatan, dan lain-lain ; sumber-sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai); organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (partai politik, sindikat, koperasi, dan lain-lain); jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, dan lain-lain; dan pengetahuan atau keterampilan yang memadai, serta informasi yang berguna untuk memajukan kehidupannya.
Sumber: Rohidi, T.R. 2000. Ekspresi Seni Orang Miskin. Bandung: Penerbit Nuansa.
Kasus : Pengangguran
Pengangguran dan Kemiskinan Tetap Jadi Fokus Pemerintah
Kamis, 1 Februari 2007
JAKARTA (Suara Karya): Pada tahun 2007 ini pemerintah tetap fokus pada program penurunan angka pengangguran dan kemiskinan, di samping mendorong pertumbuhan ekonomi.
Demikian dikemukakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membacakan pidato awal tahun di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (31/1). Pembacaan pidato tersebut sempat empat kali tertunda dengan berbagai alasan.
Untuk menurunkan angka pengangguran, kata Presiden, dibutuhkan stabilitas dan fundamental ekonomi serta pertumbuhan ekonomi. Lalu, guna menurunkan angka kemiskinan, pemerintah berjanji memperbaiki koordinasi dan kualitas program-program pengentasan kemiskinan. Misalnya bantuan tunai bersyarat, beras untuk rakyat miskin, bantuan pendidikan, dan kesehatan gratis.
"Sejak awal saya telah mengenali permasalahan mendasar yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu tingginya tingkat kemiskinan, pengangguran, dan besarnya utang pemerintah," ujar Presiden.
Dia menambahkan, ada tiga problem serius lain yang memerlukan perhatian. Yaitu, praktik korupsi yang kronis dan penegakan hukum yang lemah, perekonomian nasional yang masih rapuh dan rentan akibat krisis, serta keadaan politik dan keamanan yang masih rentan, termasuk keadaan di Aceh dan Papua.
"Kita sadar dan amat mengetahui jika keenam permasalahan mendasar itu tidak kita tangani secara sungguh-sungguh, tekun, dan konsisten, negara kita tidak akan bergerak maju, dan kesejahteraan rakyat juga tidak akan bertambah baik," tutur Presiden.
Masalah kemiskinan, pengangguran, dan utang pemerintah, terutama utang luar negeri yang amat tinggi, menurut Presiden, merupakan warisan masa lalu dan menjadi tantangan bersama sekarang ini. Sebelum krisis 1998, angka kemiskinan, pengangguran, dan utang luar negeri masih relatif tinggi. Ketika negara mengalami krisis, angka kemiskinan, pengangguran, dan utang pemerintah menjadi lebih tinggi lagi.
"Agar program pengentasan kemiskinan dapat berhasil lebih efektif, kita harus memastikan program dan kegiatannya memang benar-benar tepat, dan program-program itu mendapatkan pendanaan yang sesuai dan cukup," kata Presiden.
Itu sebabnya, tahun demi tahun besaran anggaran program pengentasan kemiskinan terus ditingkatkan secara signifikan. Presiden menyebut, tahun 2004 anggaran untuk program kemiskinan mencapai Rp 18 triliun, tahun 2005 menjadi Rp 23 triliun, dan tahun lalu melonjak hampir dua kali lipat menjadi Rp 42 triliun, sementara tahun Rp 51 triliun.
Dengan demikian, menurut Presiden, dari segi anggaran, program pengentasan per jiwa orang miskin adalah Rp 499 ribu untuk tahun 2004, lalu Rp 655 ribu untuk tahun 2005, Rp 1,08 juta untuk tahun 2006, dan Rp 1,3 juta untuk tahun ini.
"Saya berupaya sungguh-sungguh agar dana ini benar-benar sampai pada sasaran. Saya menginstruksikan para menteri dan seluruh gubernur, bupati, dan walikota agar dapat menjalankan program pengentasan kemiskinan secara efektif dan nyata," ujarnya.
Pada tahun ini, program pengentasan kemiskinan antara lain pengadaan air bersih, pembangunan infrastruktur pedesaan, pembangunan bio-energi, serta reformasi agraria.
Dalam kaitan ini, kata Presiden, pemerintah pada tahun 2007 ini meluncurkan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM). Itu merupakan upaya terkoordinasi untuk menciptakan lapangan kerja baru, perbaikan infrastruktur di pedesaan, dan lingkungan daerah kumuh di perkotaan. Partisipasi keluarga miskin, termasuk kaum perempuan, dalam perencanaan hingga implementasinya merupakan ciri program ini.
Presiden memperinci, tahun ini terdapat 2.891 kecamatan yang tercakup dalam program PNPM ini. Tahun depan, itu ditingkatkan menjadi 3.800 kecamatan, dan akhirnya mencakup seluruh kecamatan (5.263) pada tahun 2009. (Yudhiarma)
Sumber: http://perpustakaan.bappenas.go.id/pls/kliping/data_access.show_file_clp....

Teori Sosiologi dan Antropologi

Teori Sosiologi dan Antropologi
Bila teori konflik struktural sedikit simplistis dalam menjelaskan distribusi kekuasan dan benturan ideologis, sosiologi pengetahuan tidak berhenti sampai di situ. Sosiologi pengetahuan memandang keterlibatan kekuatan dalam konflik masih memerlukan penjelasan proses sosial dan dialektikanya. Perspektif sosiologi konflik struktural tidak cukup memberi perhatian terhadap aspek sosio historis dan tindakan dari konteks sosial dimana konflik muncul. Sedangkan sosiologi pengetahuan memiliki keinginan untuk melacak proses sosial dan dan bangunan sifat-sifat spesifik sosiokultural.
A. Review Literatur Sosiologi Pengetahuan
Sosiologi pengetahuan, sebagaimana menurut Collins Dictionary of Sociology (Jary&Jary, 1991 : 607-609), merupakan sebuah cabang sosiologi yang mengkaji proses-proses sosial yang melibatkan produksi pengetahuan. Salah satu tesis penting sosiologi pengetahuan, seperti yang dirumuskan Karl Manheim, adalah adanya kaitan antara pengetahuan dan kehidupan dan kesalingketerkaitan antara pikiran dan tindakan. Dengan demikian pengetahuan tidak pernah merupakan produk sosial yang bebas dari unsur-unsur nilai dan kepentingan, dan selalu berkait dengan keanggotaan kelompok dan lokasi dari individu-individu.
Max Scheler mungkin bisa disebut orang yang pertama kali mengembangkan pemikiran sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge/wissenssoziologie), ia adalah filsuf dari Jerman pada dasawarsa 1920-an. Kemudian menyusul Karl Mannheim sebagai pelopor bagi terbangunnya kerangka teori sosiologi pengetahuan yang lebih kongkret dalam analisa sosiologi, dengan jelas ia menuliskannya kedalam bukunya Ideologi dan Utopia; Menyingkap Pikiran dan Politik. Sosiologi pengetahuan kemudian semakin memperoleh perhatian besar di Amerika ketika Peter L. Berger dan Thommas Luckmann menulis buku tentang sosiologi pengetahuan berjudul Social Construction of Reality (1966) yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul Konstruksi Sosial Atas Kenyataan; Suatu Risalah Sosiologi Pengetahuan (LP3ES,1990).
Sosiologi pengetahuan Berger merupakan hasil kerja intelektual yang banyak mendapatkan sumbangan dari tokoh-tokoh klasik, dari Karl Marx, Max Weber, Durkheim, sampai fenomenologi Alfred Schuezt. Berger berupaya menemukan jalan damai dari perdebatan ilmiah dalam sosiologi dengan bangunan teori sosiologi pengetahuan yang ia kembangkan. Upaya-upaya yang dilakukan Berger dengan membangun sebuah teori konstruksi sosial tentang kenyataan ini sungguh menarik sebagaimana yang dicatat Margaret M. Poloma (1992: 303), bahwa dalam karya-karya Berger jelas terlihat usaha untuk menjembatani yang makro dan mikro, bebas nilai dan sarat nilai, interaksionis dan strukturalis, maupun teoritis dan relevan.
Sosiologi pengetahuan menganalisis apa saja yang dianggap sebagai pengetahuan dalam masyarakat awam. Sejauh mana semua “pengetahuan” manusia itu dikembangkan, dialihkan, dan dipelihara dalam berbagai situasi sosial, maka sosiologi pengetahuan berusaha memahami bagaimana proses-proses itu dilakukan, sedemikian rupa sehingga pada akhirnya terbentuklah “kenyataan” yang dianggap sudah sewajarnya oleh orang-orang awam. Dengan kata lain, bahwa sosiologi pengetahuan menekuni analisa pembentukan kenyataan oleh masyarakat (social construction of reality). Kebalikan dari Marx tentang yang material menghasilkan pengetahuan, sosiologi pengetahuan menelaah dan membuktikan bahwa pengetahuan menghasilkan yang material.
Secara konseptual sosiologi pengetahuan muncul sebagai respon terhadap realitas ilmu-ilmu sosial yang mengadopsi ilmu alam baik dalam teori, metodologi, dan epistemologi. Kerangka pemikiran yang positivistik dalam ilmu sosial telah menghancurkan sisi internal manusia, atau sisi humanistik ke dalam postulat-postulat kaku, sehingga sosiologi pengetahuan memberikan peluang baru bagi ilmu sosial untuk bergerak dalam menangani fenomena sosial dengan memasukkan unsur humanistis sekaligus fakta sosial.
Secara langsung sosiologi pengetahuan memiliki hutang budi terhadap tokoh-tokoh klasik seperti Karl Marx, Max Weber, Emile Durkeim, dan terhadap tradisi pemikiran fenomenologi Huserl sampai Alfred Schuzt. Kenyataannya teori ini berusaha menengahi dari berbagai aliran yang berkembang dalam pemikiran ilmu sosial. Seperti usahanya dalam menghadapi kenyataan sosial, yang tidak hanya bersifat objektif atau subjektif an sich, tetapi lebih sebagai kenyataan sosial ganda yang melibatkan proses dialektis masyarakat.
Sosiologi Pengetahuan dan Konstruksi Sosial
Sosiologi pengetahuan, dalam pemikiran Berger dan Luckman (1966/1990), memahami dunia kehidupan (lebenswelt/life world) selalu dalam proses dialektis, antara the self (individu) dan dunia sosio kultural. Proses dialektis itu mencakup tiga momen simultan, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosio kultural sebagai produk manusia), objektivasi ( interaksi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidentifikasi dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya).
Fase eksternalisasi dan objektivasi merupakan pembentukan masyarakat yang disebut sebagai sosialisasi primer, yaitu saat dimana seseorang berusaha mendapatkan dan membangun tempatnya dalam masyarakat. Kedua fase ini membuat orang memandang masyarakat sebagai realitas objektif, disebut juga man in society. Tahap internalisasi, yang lebih lanjut agar pranata itu dapat dipertahankan dan dilanjutkan, haruslah ada pembenaran terhadap pranata tersebut, tetapi pembenaran itu dibuat juga oleh manusia sendiri melalui proses legitimasi yang disebut objektivasi sekunder. Pranata sosial merupakan hal yang objektif, independen dan tak tertolak yang dimiliki oleh individu secara subjektif. Ketiga momen dialektis itu mengandung feneomen-fenomen sosial yang yang saling bersintesa dan memunculkan suatu konstruksi kenyataan sosial, yang dilihat dari asal mulanya merupakan hasil ciptaan manusia, buatan interaksi subjektif.
Kenyataan sosial objektif yang terlihat dalam hubungan individu dengan lembaga-lembaga sosial dilandasi oleh aturan-aturan atau hukum merupakan produk manusia itu sendiri, bukan merupakan hakekat dari lembaga-lembaga itu. Ciri coersive yang menyertai struktur sosial yang objektif merupakan suatu perkembangan aktivitas manusia dalam proses eksternalisasi atau interaksi manusia dengan struktur-struktur sosial yang sudah ada. Kenyataannya aturan sosial tersebut akan terus berhadapan dengan proses eksternalisasi. Perubahan sosial dan strukturnya akan sangat tergantung bagaimana eksternalisasi berlangsung. Perubahan sosial akan terjadi bila eksternalisasi ternyata membongkar tatanan yang sudah terbentuk. Sedangkan dalam masyarakat stabil proses eksternalisasi individu-individu akan mengidentifikasi dirinya ke dalam peranan-peranan yang sudah mapan. Peranan menjadi unit dasar dasar dari aturan-aturan yang terlembaga secara objektif. Struktur objektif masyarakat tidak menjadi produk akhir dari suatu interaksi sosial, karena struktur berada dalam suatu proses objektivasi menuju suatu bentuk baru internalisasi yang akan melahirkan suatu proses proses eksternalisasi baru.
Struktur kesadaran subjektif individu dalam sosiologi pengetahuan menempati posisi yang sama dalam memberikan penjelasan kenyataan sosial. Setiap individu menyerap bentuk tafsiran tentang kenyataan sosial secara terbatas, sebagai cermin dari dunia objektif. Dalam proses internalisasi, tiap individu bebeda-beda dalam dimensi penyerapan, ada yang lebih menyerap aspek ekstern, ada juga yang ebih menyerap bagian intern. Tidak setiap individu dapat menjaga keseimbangan dalam penyerapan dimensi objektif dan dimensi subjektif kenyataan sosial itu. Kenyataan yang diterima individu dari lembaga sosial, menurut Berger, membutuhkan cara penjelasan dan pembenaran atas kekuasaan yang sedang dipegang dan dipraktekkan.
Pelembagaan pandangan atau pengetahuan oleh masyarakat itu akhirnya memperoleh generalitas yang paling tinggi, dimana dibangun suatu dunia arti simbolik yang universal, yang kemudian disebut sebagai pandangan hidup atau ideologi. Pandangan hidup yang diterima umum itu dibentuk untuk menata dan memberi legitimasi pada konstruksi sosial yang sudah ada serta memberikan makna pada pelbagai bidang pengalaman mereka sehari-hari. Legitimasi di sini adalah proses penjelasan (unsur kognitif) dan pembenaran (unsur normatif) dari suatu interaksi antara individu.
Dengan memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan dan masalah legitimasi maka kenyataan sosial itu merupakan suatu konstruksi sosial buatan masyarakat sendiri dalam perjalanan sejarahnya dari masa silam, ke masa kini dan menuju masa depan. Konstruksi sosial itu sendiri pada gilirannya berkarakter plural, relatif, dan dinamis. Dalam arti, bahwa lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat memiliki kehendak dalam membangun realitas sosial, dan setiap kehendak tersebut harus berhadapan satu sama lain dan berusaha saling mendominasi. Masyarakat dalam dunia kehidupan mereka selalu terlibat dalam usaha dominasi, oleh sebab itu pertikaian diantara kelompok-kelompok sosial sering muncul.
B. Analisis Konflik Sosiologi Pengetahuan
Konflik Agama Dalam Konstruksi Sosial
Konflik adalah fenomena sosial dan ia merupakan kenyataan bagi masyarakat yang terlibat di dalamnya. Artinya masyarakat menyadari dan merasakan bahwa konflik itu muncul dalam dalam dunia sehari-hari. Konfllik juga sebagai suatu proses sosial, proses perubahan dari tatanan sosial yang lama ke tatanan sosial yang berbeda. Konflik antar komunitas dalam masyarakat difenisikan sebagai suatu kondisi wajar tetapi bila sudah melibatkan kekerasan kewajaran konflik menjadi tidak lagi. Konflik bersifat inheren dalam kesadaran masyarakat sehingga selalu ada gambaran yang nyata tentang fenomena tersebut. Bahkan masyarakat menyimpan pengalaman tentang konflik sebagai pengetahuan dan realitas sosial mereka.
Mengikuti sosiologi Pengetahuan yang dikembangkan oleh Peter L. Berger dan Luckmann (1966, 1990) bahwa realitas sosial berupa pengetahuan yang bersifat keseharian seperti konsep, kesadaran umum dan wacana publik merupakan hasil konstruksi sosial. Kenyataan itu sendiri bersifat plural, dinamis dan dialektis. Demikian juga pengetahuan konflik agama. Dalam perspektif konstruksi sosial, pengetahuan konflik agama sebagai realitas, tidak pernah merupakan realitas tunggal yang bersifat statis dan final, melainkan merupakan realitas plural yang bersifat dinamis dan dialektis. Kenyataan bersifat plural karena adanya relativitas sosial dari apa yang disebut ‘pengetahuan’ dan ‘kenyataan’.
Diilustrasikan oleh Berger dan Luckman (1990:3-4): apa yang nyata bagi seorang biarawan Tibet mungkin saja tidak ‘nyata’ bagi seorang pengusaha Amerika; ‘pengetahuan’ seorang penjahat berbeda dengan ‘pengetahuan’ ahli kriminologi.
Pengetahuan konflik agama sebagai hasil dari konstruksi sosial pun bersifat plural, mengikuti pluralitas konstruksi yang dibuat oleh kelompok-kelompok sosial. Setiap kelompok sosial memiliki referensi nilai-nilai dan preferensi kepentingan yang berbeda-beda, dan perbedaan ini membawa konsekuensi terhadap konflik sosial antara komunitas agama dalam dunia kenyataan. Selain plural, konflik agama juga bersifat dinamis. Realitas pengetahuan konflik agama sebagai konstruksi sosial bersifat dinamis karena sesungguhnya selalu berada dalam dialektika sosial. Dalam level individual. dialektika berlangsung dalam faktisitas objektif dan makna subjektif konflik agama bagi individu. Sementara dalam level sosial, pluralitas konstruksi terhadap pengetahuan konflik agama mengalami dialektika pula.
Sebagai konstruksi sosial, pengetahuan konflik agama merupakan sekaligus realitas objektif dan realitas subjektif. Sebagai realitas objektif pengetahuan konflik agama merupakan faktisitas objektif yang bersifat eksternal dan koersif. Sebagai realitas objektif, pengetahuan konflik agama misalnya meliputi seperangkat doktrin yang sudah terumuskan secara permanen, rumusan-rumusan operasional lainnya, serta praktek implementasi konflik agama itu sendiri. Hal dapat diperlihatkan dengan adanya gerakan-gerakan sosial yang bersifat politis dalam masyrakat.
Sedangkan pengetahuan konflik agama sebagai realitas subjektif berarti menyangkut makna, interpretasi, dan relasi subjektif individu terhadap konflik agama. Setiap individu mempunyai latar belakang sejarah, konstruksi ide, sampai minat dan kepentingan yang bisa berbeda-beda dalam mengahadapi konflik agama. Pengetahuan konflik agama sebagai realitas objektif dan realitas subjektif terus menerus berhubungan secara dialektis.
Realitas pluralisme konstruksi sosial dalam masyarakat menumbuhkan persaingan untuk berebut pengaruh dan menjadi konstruksi dominan. Gilirannya, fenomena kekuasaan ikut terlibat, dari sinilah kemudian fenomena ideologi muncul. Menurut Berger, ketika suatu definisi tertentu mengenai kenyataan pada akhirnya dikaitkan dengan suatu kepentingan kekuasaan yang kongkrit, ia bisa dinamakan ideologi. Pengetahuan konflik agama yang turun dalam bentuk yang antagonis, bersifat doktrin, merupakan bentuk pengetahuan yang dibentuk oleh kekuasaan dalam masyarakat.
Dalam perspektif Berger, kekuasaan mempunyai peranan penting dalam kehidupan sosial. Sehingga menurutnya, kekuasaan dalam masyarakat mencakup kekuasaan untuk menetapkan proses-proses sosialisasi yang sifatnya menentukan dan, dengan demikian, kekuasaan untuk membuat kenyataan. Jelasnya, benar dan salah, baik dan buruk, menjadi wewenang kekuasaan dalam menentukannya.
Berkaitan dengan fenomena ideologi maka bisa dikatakan bahwa ia tidak semata-semata merupakan sebuah konstruksi sosial yang berada dalam ruang yang kosong politik. Seperti pendapat Mannheim bahwa ideologi adalah bentuk pengetahuan yang sudah terkontaminasi keinginan-keinginan subjektif, yaitu hasrat politik. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ideologi merupakan sebuah konstruksi sosial politik; sebuah konstruksi sosial yang kehadirannya berkaitan dengan kepentingan-kepentingan kekuasaan dan penguasaan. Konflik Agama dan pengetahuan tentangnya akhirnya dijadikan ideologi, dalam bentuknya yang antagonis, seperti permusuhan abadi, keburukan tindakan “mereka” di luar “kita”, untuk kepentingan yang tidak selalu terbaca oleh masyarakat awam.
Konflik antara komunitas-komunitas agama di Ambon Maluku adalah sebagai hasil pengetahuan konflik agama dalam setiap komunitas sosial, Islam dan Kristen, dalam mengarahkan tindakan mereka menghadapi dunia sosial. Konflik agama itu melibatkan proses sosial yang dialektis antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat, yang menyertakan fenomena ekonomi dan politik, sebagai konstruksi sosial.
Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan
Tentang pengetahuan, Berger, banyak mengambil dari pemikiran fenomenologi Alfred Schutz. Pemikiran sosiologi fenomenologi Schutz menjelaskan tiga unsur pengetahuan yang membentuk pengertian manusia tentang masyarakat yaitu dunia sehari-hari, Sosialitas dan makna.
Dunia sehari-hari sebagai dunia yang paling fundamental dan dunia terpenting bagi manusia. Dia menjadi orde tingkat satu (the first order of reality), yang sekaligus menjadi sumber dan dasar bagi pembentukan orde-orde selanjutnya. Kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagi kenyataan yang ditafsirkan oleh manusia dan mempunyai makna subjektif bagi mereka sebagai satu dunia yang koheren (Berger&Luckamn, 1990: 28).
Sosialitas mengacu pada teori Max Weber mengenai tindakan sosial (social action, soziales handeln). Tindakan sosial yang terjadi setiap hari adalah proses dimana terbentuk berbagai makna (Cambell, 1990 : 89). Ada dua fase pembentukan tindakan sosial. Pertama kali tindakan yang diorientasikan pada benda fisik sehingga belum menjadi tindakan sosial, setelah tindakan itu mengorientasikan pada orang dan mendapatkan makna subjektif pada saat itulah terbentuk tindakan sosial.
Makna dan pembentukan makna merupakan sumbangan Schutz yang penting dan orisinal kepada gagasan fenomenologi tentang makna dan bagaimana makna membentuk struktur sosial. Kalau orde dasar bagi masyarakat adalah dunia sehari-hari maka makna dasar bagi pengertian manusia adalah common sense, yang terbentuk dalam bahasa percakapan sehari-hari. Common sense didefinisikan sebagai pengetahuan yang ada pada setiap orang dewasa yang sadar. Pengetahuan ini sebagian besar tidak berasal dari penemuan sendiri, tetapi diturunkan secara sosial dari orang-orang sebelumnya. Bahasa ibu misalnya adalah sebuah khasanah pengetahuan pertama bagi setiap orang yang telah dipelajari dan diterimanya begitu saja, tanpa orang mengetes kebenarannya secara sadar.
Common sense terbentuk melalui tipifikasi yaitu penyusunan dan pembentukan tipe-tipe pengertian dan tingkah laku untuk memudahkan pengertian dan tindakan. Tipifikasi ini tidak hanya menyangkut pandangan dan tingkah laku, tetapi menyangkut juga pembentukan makna. Hal ini terjadi karena orang-orang yang terlibat dalam komunikasi melalui bahasa dan interaksi sosial kemudian membangun semacam sistem relevansi bersama, dengan melepaskan dari tiap individu atau tiap peristiwa hal-hal yang bersifat individual untuk merujuk satu atau beberapa ciri yang sama yang dianggap relevan.
Penggolongan makna kedalam berbagai tipe kemudian menghasilkan apa yang oleh Schutz dinamakan daerah makna yang terbatas (the finite province of meaning).
Suatu daerah makna berbeda dengan daerah makna yang lain karena masing-masing memiliki gaya kognitif (cognitive style) yang berbeda dengan memberi tekanan yang berbeda kepada kenyataan (the accent of reality). Tekanan khusus kepada realitas yang terjadi dalam tiap daerah makna hanya dapat terjadi kalau di sana juga terjadi ephoce, yaitu menghilangkan keragu-raguan mengenai segi-segi tertentu dari kenyataan itu, sekurang-kurangnya buat sementara waktu.
Pengetahuan tidak begitu saja tampil tanpa terlibatnya lembaga sosial yang memegang kunci kekuasaan. Berger melihat negara adalah sebagai lembaga terbesar yang mampu menentukan kenyataan bagi individu-individu dan menentukan eksternalisasi dalam dunia sosial. Negara dan kekuasaan yang dimilikinya menghendaki struktur sosial yang sesuai dengan kepentingannya. Aturan-aturan diciptakan dan dipaksakan sebagai pengetahuan dalam masyarakat, sehingga terbentuklah kenyataan sosial yang dikehendaki. Proses ini merupakan social enginering dengan turunnya dominasi kekuasaan dalam kehidupan sosial. Ketika negara dalam frekwensi tertentu mengurangi, atau terpaksa mengurangi karena faktor tertentu, dominasinya dalam menetukan kenyataan, konstruksi sosial akan melibatkan peran kelompok-kelompokl sosial lainnya yang memiliki kepentingan dalam menentukan kenyataan.
Keterkaitan antara pengetahuan dan kepentingan, menyebabkan munculnya fenomena ideologi. Karena kepentingan memiliki sifat subjektif, dan bagi Mannheim menyebabkan pengetahuan tidak lagi bersifat universal, maka pengetahuan yang telah dikendalikan kepentingan menjadi ideologi. Pengertian ideologi dalam pemahaman Berger adalah suatu dunia arti simbolik yang universal, yang merupakan pandangan hidup masyarakat. Fungsinya adalah untuk memberikan legitimasi pada konstruksi sosial yang sudah ada serta memberikan makna pada pelbagai bidang pengalaman mereka sehari-hari.
Legitimasi melibatkan pengertian kognitif, yang berarti penjelasan terhadap kenyataan, dan unsur normatif yang bersifat membenarkan. Artinya tindakan yang muncul dalam konteks sosial tertentu telah mendapatkan penjelasan dan pembenaran dari lembaga-lembaga sosial melalui ideologi, dan tindakan tersebut merupakan kenyataan bagi individu. Proses itu memperlihatkan kepentingan yang ada dalam pengetahuan.
Jurgen Habermas memberikan pernyataan bahwa pengetahuan selalu berkaitan dengan kepentingan (Hardiman, 1990:109-189). Menurut Habermas, upaya memisahkan pengetahuan dari kepentingan sebenarnya hanya bersifat semu dan palsu, bahkan menjadi alat terselubung bagi suatu kepentingan tersendiri. Bentuk pengetahuan adalah bentuk kepentingan dari mana pengetahuan itu muncul. Common sense sebagai pengetahuan pertama pun tidak lepas dari kepentingan dan dominasi keluarga atau orang-orang sebelumnya.
Habermas dalam rumusan filosofisnya membenarkan bahwa pengetahuan selalu terhubung dengan kepentingan, antara teori dan praksis tidak dapat dipisahkan. Menurut Habermas analisis empiris-analitis mempunyai kepentingan praktis, analisis teori historis hermeunitis mempunyai kepentingan komunikatif, dan teori kritis mempunyai kepentingan emansipatoris. Antara teori dan praksis sosial tidak dapat dipisahkan karena di dalam setiap pengetahuan akan selalu ditemukan kepentingan dari pengetahuan itu sendiri.
Pengetahuan dan kepentigan membentuk makna dalam interaksi sosial, dan tindakan yang dapat muncul dalam jaringan makna dalam dunia sosial. Pemaknaan adalah realitas terbatasnya individu dan kelompok-kelompok sosial di dalam wilayah pengetahuan dan kepentingan mereka. Dalam fenomenologi mereka memiliki daerah makna sendiri-sendiri, dan oleh sebab itu, struktur sosial dan dunia kehidupan itu terus bergerak sejauh pemaknaan dan kepentingan-kepentingan memperjuangkan dirinya secara subyektif.
Agama, Pengetahuan, dan Konflik Agama
Agama telah memperoleh kajian dari sosiologi agama yang mengupayakan pemahaman relasi agama dan masyarakat. Bagaimana agama memperlakukan dan diperlakukan masyarakat, pengaruh agama dalam membangun struktur sosial, budaya, dan konflik yang muncul karenanya. Sosiologi agama membedakan dirinya dari pengertian para teolog dalam menjelaskan persoalan dan jawaban agama, walaupun pada dasarnya sosiologi agama sangat bermanfaat bagi para ahli teologi.
Sosiologi agama tidak memberikan penjelasan tentang benar dan salah, kebenaran Tuhan, aturan yang harus dijalankan, sebagaimana para teolog menjelaskannya. Sosiologi dalam mengkaji fenomena agama bertugas mencari hubungan yang muncul dari adanya agama dalam masyarakat dan sebaliknya. Seorang sosiolog tidak hanya mengkaji persoalan agama yang dianutnya tetapi ia mengambil agama-agama di luar dirinya dan membahasnya secara sosiologis. kajian terhadap agama sendiri memang cukup beragam, seperti kajian agama Emile durkheim, Max Weber, Karl Marx, sampai kemudian para tokoh sosiologi modern seperti Peter L. Berger, Thomams Luckmann, Yinger, Gregory Baum, dan lainnya.
Studi ini akan banyak menarik bantuan dari kajian sosiologi agama terutama dalam upaya menemukan pemahaman agama dalam hubungan timbal balik dengan masyarakat. Bagaimana masyarakat mendefinisikan agama, menafsirkannya, dan mengolah pengalaman dalam hidupnya dalam hubungannya dengan agama. Sosiologi agama bertugas memahami makna yang diberikan oleh masyarakat tertentu terhadap sistem agamanya sendiri dan berbagai antar hubungan agama tersebut (Scharf, 1995: 3).
Salah satu pembahasan terhadap agama dilakukan sosiologi pengetahuan, oleh Peter L Berger, dalam bukunya The Sacret Canopy dan The Social Reality of Religion, dan Thomas Luckman dalam ukunya The Invisble Religion. Berger memberikan pemahaman bahwa ada pengaruh timbal balik antar berbagai sistem makna, yang mencakup juga berbagai sistem agama, dan pengalaman sosial maupun perorangan yang dicoba tafsirkan oleh manusia berdasarkan sistem-sistem semacam itu (Scharf, 1995: 98).
Sistem makna sendiri merupakan produk sosial, bukan perorangan, yakni produk semua orang yang hidup dalam hubungan bersama satu sama lain pada suatu saat, dan juga merupakan produk nenek moyang mereka. Agama dalam dunia sosial adalah sistem makna yang tidak hanya merupakan kebenaran firman Tuhan (norrmatif), yaitu realitas transendental, tetapi ia pun adalah realitas historis yang tidak lepas dari bagaimana masyarakat manusia memilikinya dan menggunakannya dalam setiap konteks sosial tertentu. Sebagai realitas historis agama tidak lepas dari kesejarahan manusia dan kehidupannya yang berada dalam ruang dan waktu.
Pengalaman yang membentuk pengetahuan dalam setiap individu dan secara sosial dikonstruksikan sebagai cadangan pengetahuan bersama, dengan cadangan pengetahuan itulah kemudian lingkungan sosial diperlakukan. Pengetahuan setiap komunitas agama dalam dunia sehari-hari dibentuk oleh pengalaman interaksi diantara mereka. Interaksi antar komunitas agama, antara individu dalam suatu rentang ruang dan waktu, menghasilkan pengalaman dan pengetahuan yang spesifik. Seperti dalam pandangan Gofmann bahwa manusia masuk dalam situasi tatap muka, face to face, sebagai interaksi yang melibatkan penafsiran diantara mereka yang terlibat dengan pengalaman sebelumnya dan menciptakan pengalaman baru yang pada saat-saat tertentu merupakan pengalaman yang unik dan berpengaruh (Giddens, 1992: 4)
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-karakteristik spesifik. Kumpulan-kumpulan spesifik dari kenyataan dan pengetahuan berkaitan dengan konteks-konteks sosial yang spesifik, hal ini karena adanya fakta relativitas sosial. Pengalaman hidup dan agama membangun sistem makna yang menaungi pikiran individu-individu manusia. Makna yang muncul dari pengetahuan yang sudah mapan, sebagai cadangan pengetahuan, banyak menentukan bagaimana sikap dan tindakan itu muncul dalam dunia sehari-hari.
Pengetahuan komunitas-komunitas agama tentang orang lain, tentang tindakan orang lain, menciptakan makna yang saling berhubungan antara anggota-anggotanya dan membentuk sistem makna yang secara determinan memberikan perlakuan terhadap orang lain dalam interaksi tatap muka maupun tak langsung. Pengalaman para nenek moyang setiap komunitas agama yang telah diwariskan sebagai pengetahuan, dimana fenomen-feneomen itu nyata dan bersifat spsifik, menentukan apakah interaksi akan berjalan dengan lancar atau tidak.
Fenomena konflik antar komunitas agama merupakan gejala adanya interaksi antar pengetahuan dan kepentingan yang plural. Usaha saling mendominasi realitas sosial yang dilakukan melalui interaksi sehari-hari muncul dalam bentuk pembelaan, pembenaran, dan penggalian pengalaman komunitas agama masing-masing. Pada saat itulah masyarakat menentukan tindakan mereka dalam konflik agama dengan alasan yang ada dalam kepala masing-masing.
Elit Kekuasaan, Kepentingan, dan Konflik Sosial
Berger menunjuk negara sebagai lembaga kekuasaan yang paling besar dalam menentukan eksternalisasi individu-individu, yaitu tindakan penyesuaian diri kedalam dunia sosikultural yang muncul kedalam tindakan-tindakan tertentu. Namun negara sendiri, bagi Marx, adalah representasi sekumpulan kelas swasta yang mendominasi modal. Negara adalah organisasi politik yang diperebutkan sebagai alat untuk memiliki sumber daya langka, ekonomi dan politik, oleh kelompok-kelompok politik, atau kelompok-kelompok satrategis dalam istilah Hans Dieters-Ever (1990), dalam masyarakat. Setiap kelompok memiliki tokoh-tokoh penting yang berpengaruh dan memiliki kekuasaan dalam mengarahkan tindakan individu-individu, mereka adalah para elit kekuasaan yang sering membangun opini publik dalam proses perjuangan kepentingan mereka.
Charles. W. Mills ( The Power Elite,1956) mempunyai pengertian bahwa elit kekuasaan dikomposisikan dari orang-orang yang memungkinkan mereka melebihi lingkungan biasa dari orang-orang biasa, laki-laki atau perempuan; mereka ada di posisi pembuatan keputusan yang memiliki konsekuensi besar. Mereka menempati posisi pimpinan strategis dari struktur sosial, seperti pimpinan partai politik atau keagamaan, dimana dipusatkan alat-alat efektif dari kekuasaan dan kekayaan dan kemasyuran dimana mereka menikmatinya.
Elit kekuasan bukan penguasa negara. Mereka adalah para politisi profesional dari level menengah kekuasaan, dalam kongres (legislatif; MPR/DPR untuk Indonesia) dan dalam kelompok-kelompok penekan, sama halnya diantara golongan kelas baru dan lama kota atau wilayah. Posisi penting mereka dalam mempengaruhi opini publik dan mengarahkan tindakan sosial massa merupakan keahlian yang dimiliki karena tingkat pengetahuan dan kepemilikan mereka terhadap alat-alat kekuasaan, seperti usaha ekonomi, politik dan militer. Secara empiris elit dalam masyarakat Ambon pun telibat dalam bidang-bidang itu, militer, ekonomi, dan politik keagamaan. Para elit yang berpengaruh di Ambon, lokal dan nasional, secara teoritis dan empiris memperlihatkan kemampuan dan peran mereka dalam mengarahkan situasi.
Pada dasarnya elit kekuasaan tidak melepaskan kegiatan dan tindakannya dari kepentingan-kepentinganya. Studi Mills di Amerika tentang elit yang mendominasi melalui militer, ekonomi, dan wilayah politik atau partai politik mempunyai kesempatan yang besar dan kemampuan meningkatkan posisinya, sebagai orang-orang yang terpandang dalam publik. Privilege mereka dalam struktur masyarakat adalah karena faktor-faktor penguasaan mereka terhadap kekayaan, politik, dan juga militer. Kepentingan para elit dalam memperoleh dan memperkuat posisinya tidak cukup hanya menjadi perjuangan dalam rapat-rapat kongres tetapi mereka menghendaki adanya dukungan dan situasi yang menguntungkan mereka. Dukungan itu adalah masyarakat yang mereka kendalikan dengan kekuatan mereka, secara ekonomi mapun pengaruh sosial.
Tokoh-tokoh sebelum Mills, seperti Vilvedro Pareto, Gaetano Mosca (1859-1941), dan Robert Michels (1876-1936), memberikan argumentasi bahwa hanya sebagian kecil orang dalam organisasi dapat memegang wewenang, dan kedudukan posisi-posisi ini secara otomatis menempatkan mereka pada perselisihan. Elit yang dalam kontrol biasanya berbagi budaya umum, dan mereka diorganisir, tidak perlu formal, tetapi mereka melakukan tindakan bersama mempertahankan posisi mereka, bersama dengan penggunaan ini pada keuntungan individu mereka sendiri. Pada saat seperti itulah biasanya terjadi tarik menarik antara massa pendukung para elit. Lain kata, teori elit menjelaskan secara eksplisit argumen bahwa kepentingan pribadi orang-orang dan kekuatan intrinsik yang tak sama membuat konflik yang tak terhindarkan dan permanen (Wallcae &Wolf, 1986: 68-69).
Pertanyaanya apakah bila ada konflik elit politik maka ada konflik antara komunitas-komunitas dalam masyarakat? Kemampuan elit mengarahkan situasi, kepentingan mereka dalam struktur sosial dan politik, dan konflik diantara mereka, tidak cukup berhenti pada ruang terbatas dimana mereka memperebutkan sesuatu yang harus mereka miliki tetapi keikutsertaan masyarakat dalam proses konflik itu. Persoalan konflik dalam masyarakat memang tidak selalu dapat ditebak dengan cepat dan tepat karena hubungan yang cukup rumit untuk menjelaskan antara kepentingan masyarakat awam, dan kepentingan para elit, dalam dunia sosial yang luas. Pada dasarnya kepentingan elit dan masyarakat awam tidak berada di kursi yang sama. Sehingga untuk mengetahui bagaimana peran elit dalam mempengaruhi masyarakat awam adalah dengan memahami bentuk pengetahuan masyarakat yang paling penting dan kepentingan mereka sehari-hari, dan bagaimana kemudian kepentingan para elit itu juga duduk di kesadaran masyarakat.
Studi ini menyadari bahwa hubungan antara elit dan masyarakat awam tidak dapat dijelaskan secara bersamaan. Analisis yang dikembangkan di sini tidak akan menjelaskan bagaimana terbentuknya kepentingan elit dalam suatu konflik sosial dan cita-cita politik mereka namun bagaimana elit ikut terlibat dalam proses pembentukan kesadaran masyarakat awam dalam menentukan tindakan mereka. Tindakan-tindakan masyarakat awam dalam dunia sehari-hari yang diperintahkan secara langsung oleh pengetahuannya terhadap lingkungan sosial atau terhadap orang lain, yang dalam kondisi atau fase tertentu, konflik adalah satu fenomena yang mengikutinya. Karena tindakan masyarakat dalam pluralitas pengetahuan dan kepentingan, serta adanya kehendak dominan maka terbangun konflik diantara mereka secara fisik maupun tidak. Atau lugasnya bagaimana konflik agama di Ambon Maluku adalah sebagai hasil konstruksi sosial para elit kekuasaan.
Studi Wacana, Dominasi dan Bahasa
Persoalan realitas sosial adalah kepentingan apa dan siapa yang mendominasi di dalamnya. Negara, menurut Berger dan Lukcmann, adalah lembaga terbesar yang paling kuat dalam mengkaselarasikan kepentingan di wilayah publik. Karena negara mempunyai aparat-aparat, seperti birokrasi dan militer yang merupakan pentungan untuk memaksa, maka ia dapat membentuk atau menentukan realitas sosial dalam koridor kepentingan mereka. Tetapi bagaimana bila negara tidak lagi memiliki pusat kekuasaan, dimana kemampuannya semakin kecil dan kehilangan mengontrol ‘pentungannya’?
Kekuatan pada akhirnya akan beralih kepada para penguasa dalam komunitas-komunitas sosial, mereka adalah para elit dalam masyarakat. Elit kekuasaan memiliki kemampuan mengarahkan situasi dan mempengaruhi publik dengan apa-apa yang mereka miliki. Mills (The Powers Elit, 1956) menyebutkkan bahwa elit kekuasaan berada dalam daerah-daerah strategis, yaitu militer, ekonomi, dan politik.
Negara bukan merupakan organ yang sendiri atau tunggal dimana ia berdiri sebagai kesatuan kekuasaan dan kesatuan perwakilan masyarakat namun lebih sebagai presentasi minoritas kelompok yang berkuasa yang mengatur kelompok lebih besar. Para elit menekankan kepentingannya dengan mengelola masyarakat sebagai kekuatan politisnya melalui pembentukan opini, membangun wacana dalam publik, dan melakukan pengorgasiran kelompok-kelompok militan yang mendukungnya. Kaum elit yang berada dalam struktur kekuasaan dapat mengambil keuntungaan dari situasi ini dengan menggunakan media massa sebagai alt indoktrinisasi dan persuasi (Mills, 1956: 243-268)
Ketika elit kekuasaan menyatakan kepentingannya, orang merasa itu juga sebagai kepentingannya sendiri. Posisi dominan kelompok elit di dalam masyarakat melakukan komunikasi politik, dan kemudian terbentuklah suatu pola hubungan memberi dan menerima, artinya bagaimana elit masyarakat menggunakan kekuasaannya kepada kelompok masyarakat, dan bagaimana masyarakat itu menanggapi serta menerima keinginan-keinginan kelompok politik (Suryadi, 1993: 72).
Wacana yang dibangun elit tertanam dalam setiap orang yang mengikutinya, membenarkannya, dan terlibat dalam perdebatan wacana dengan orang-orang lain yang berbeda. Kepentingan para elit dalam wacana itu, yang telah dibenarkan masyarakat grass root, menjadi selaras dengan kepentingan masyarakat tanpa harus menyadari bahwa di balik itu semua telah terjadi penindasan terhadap kepentingan mereka yang sebenarnya. Kondisi ini adalah kondisi alienasi, seperti yang dipikirkan Marx, atau menurut Marcuse (1964) sebagai desublimasi represif. Bagi kalangan posmodernisme hal itu adalah regime of significance yang cenderung melakukan dominasi dan hegemoni makna atas berbagai persitiwa, pengetahuan, kesadaran, dan wacana.
Sebagaimana Foucault melihat bahwa wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran di sini, oleh Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit, bukan juga sebuah konsep yang abstrak. Akan tetapi ia diproduksi, setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkjan tersebut. Di sini, setiap kekuasaan berpretensi mengahasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan (Enriyanto, 2001: 48).
Wacana para elit merupakan suatu pesan politik yang dikemas dengan teknik pemasaran yang sebaiknya dibaca sebagai perembesan nilai komersial ke dalam politik dan perembesan itu, tanpa disadari oleh semua pelaku politik, tiba-tiba sebuah budaya baru muncul, atau lebih tepatnya kerangka besar kolonialisme budaya itu menjadi nyata, dan amat bersifat politis (Subangun, 1999: 46). Kelompok-kelompok politik dan para elit itu menciptakan kerangka besar kolonialisme budaya yang pada dasarnya berusaha mengontrol kehidupan sosial politik masyarakat dan dengan begitu masyarakat kapan pun bisa menjadi perajurit yang mendukung kepentingan mereka tanpa harus membayar dengan apapun terhadap masyarakat.
Wacana yang diproduksi sebagai pemasaran komersil oleh para elit merembes kedalam kesadaran masyarakat dan menciptakan tindakan-tindakan tertentu. Pada gilirannya ketika wacana yang plural, karena adanya para elit yang berbeda-beda kepentingan dan tujuannya itu, dipraktekkan melalui bahasa yang tidak lepas dari kooptasi, dominasi, dan hegemoni sebagai adanya kebudayaan yang mempengaruhi masyarakat. Bahasa bukan semata-mata alat komunikasi atau sebuah nilai yang secara wenang-wenang menunjuk suatu realitas monolitik. Bahasa adalah suatu kegiatan sosial, yang secara sosial, terikat, dikonstruksi, dan dikrekonstruksi dalam kondisi khusus dan social setting tertentu daripada menurut hukum yang diatur secara universal.
Setiap elit memiliki ‘daerah jajahan’ wacananya sendiri, sebagai rezim kebenaran dalam relasi mereka dengan massa dan pada gilirannya kepentingan menjadikan wacana yang merupakan pengetahuan tertentu itu tidak lagi bersifat universal, alias sebagai ideologi. Ideologi memiliki kaitan dengan bahasa, karena bahasa adalah juga sebagai intrumen kekuasaan. Menurut J.B Thompson (1990), dalam bahasalah secara primer makna dimobilisasi dalam kepentingan kelompok maupun individu tertentu. Bahasa kemudian merupakan cara kekuasaan menyampaikan kepentingannya, dan digunakan untuk menggerakkan pemaknaan di bawah benderanya. Setiap kepentingan kelompok-kelompok sosial maupun individu ikut terlibat dalam proses sosial yang menyebabkan perubahan, pergantian, secara terus menerus tanpa akhir dengan bahasa menjadi perjuangan dan alat kepentingan itu sendiri.
Perkembangan selanjutnya ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi, semakin pesat dan banyak dipengaruhi oleh situasi dimana perkembangan itu muncul. Akar teori dari tokoh-tokoh klasik di atas berkembang kedalam mainstream-mainstream sosiologi modern. Kita dapat mencatat tokoh-tokoh sosiologi modern seperti Ralp Dahrendorf (Dialektika Konflik), Lewis Coser (Konflik dan Perubahan Sosial), Talcot Parsons (Teori Sistem), Robert K. Merton (Fungsionalisme Struktural), Herbert Mead (interaksionisme Simbolik), Alfred Szhust (Fenomenologi), Karl Manheim (Sosiologi Pengetahuan), Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (Teori Konstruksi Sosial), Adorno, J. Habermas (Madzab Kritis; teori tindakan komunikatif).
Madzab kritis, terutama dalam pemikiran Juergan Habermas, sering disamakan dengan sosiologi pengetahuan. Terutama dalam penjelasannya tentang hubungan antara sistem pengetahuan dan kepentingan. Walaupun sosiologi pengetahuan tidak memiliki semangat melakukan transformasi sosial sebagaimana semangat madzab kritis. Kepentingan sosiologi pengetahuan menurut Habermas, sebagaimana ia merupakan ilmu yang bersifat historis heurmenitik, adalah komunikasi intersubjektif. Masih banyak lagi tokoh-tokoh sosiologi modern yang mengembangkan teori-teori baru yang berakar pada tokoh-tokoh klasik. Selain itu ilmuwan di era ini seperti Johan Galtung, Ted Gurr, dan Charles Tilly adalah tokoh-tokoh ilmuwan sosial yang menganalisis persoalan konflik sosial.
Pada era ini nama-nama baru yang penting, seperti Johan Galtung dan Charles Tilly (McQuarrie, 1995), melakukan analisis mereka tentang konflik kekerasan yang selain mengembangkan kerangka teori konflik sebelumnya juga telah mengembangkan analisis konflik dalam perhatian mereka di situasi global.
Konsepsi Johan Galtung yang penting adalah pendapatnya tentang hubungan antara kekerasan dengan kekuasaan (Windhu, 1992: 111-117). Kekerasan langsung seringkali didasarkan atas penggunaan kekuasaan sumber (resource power), dan kekerasan struktural yang didasarkan pada penggunaan kekuasan struktural. Kekuasaan sumber dibedakan menjadi kekuasaan punitif yang bersifat menghancurkan, kemudian kekuasaan ideologis dan kekuasaan renumeratif. Baik kekuasaan sumber dan kekuasan struktural saling berkaitan, saling memperkuat.
Galtung mengungkapkan kekerasan struktural dan personal dapat menghalangi untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kebutuhan-kebutuhan dasar ini adalah kelestarian atau keberlangsungan hidup, kesejahteraan, kebebasan, dan identitas. Jika empat kebutuhan dasar ini mengalami tekanan atau kekerasan dari kekuasaan personal dan struktural, maka konflik kekerasan akan muncul ke permukaan sosial.
Jalur sosiologi pengetahuan sendiri sebenarnya tidak merupakan jalur ekslusif yang berseberangan secara total terhadap aliran-aliran penting. Proposisi pemikiran dari Marx, Weber, Durkheim kemudian fenomenologi Szchust sangat berperan sehingga tidak disangkal bahwa sosiologi pengetahuan, terutama konstruksi sosial Berger dan Luckman, adalah usaha meniti dua kutub antara kubu kanan dan kiri.
Sosiologi pengetahuan terutama dalam karya Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966) tentang konstruksi sosial atas kenyataan pada dasarnya secara konseptual adalah usaha untuk menjembatani analisis mikro dan makro, antara teori tindakan dan struktural (Wallace&Wolf, 1986, Poloma, 1993). Sosiologi konflik sendiri pada dasarnya adalah analisis struktural (fakta sosial) yang mengurangi aspek tindakan dan pemaknaan sosial (Turner, 1985). Ini bukan berarti bahwa perbedaan antara sosiologi pengetahuan dengan sosiologi konflik adalah adanya unsur analisis pemaknaan tindakan sosial an sich dalam sosiologi pengetahuan. Perbedaan mendasar yang dapat ditangkap adalah bagaimana keduanya menjelaskan realitas sosial dan bagaimana masyarakat menghadapinya. Sosiologi pengetahuan banyak terlibat dalam proses tersebut.
Sosiologi konflik mempunyai asumsi bahwa masyarakat selalu dalam kondisi bertentangan, pertikaian, dan perubahan. Semua itu adalah sebagai bagian dari terlibatnya kekuatan-kekuatan masyarakat dalam saling berebut sumber daya langka dengan menggunakan nilai-nilai dan ide (Ideologi) sebagai alat untuk meraihnya (Wallace&Wolf, 1986). Hal ini sama dengan asumsi sosiologi pengetahuan Berger dan Luckmann yang menyebutkan adanya momen dialektis dalam masyarakat yang melibatkan kelompok-kelompok kepentingan dan ideologi. Dahrendorf menyebut analisisnya dengan konflik dialektis yang menjelaskan proses terus menerus distribusi kekuasaan dan wewenang di antara kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association). Sehinga kenyataan sosial, bagi Dahrendorf, merupakan siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi dari sistem sosial (Turner, 1985).
Sosiologi pengetahuan Berger dan Luckmann pun mempunyai pendapat yang sama bahwa masyarakat selalu berada dalam proses dilaketis yang meliputi tiga proses simultan, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Hanya saja studi konflik banyak melibatkan penjelasan struktural tanpa bersedia menjelaskan lebih lanjut bagaimana konflik dalam masyarakat terbentuk dengan proses-proses sosial yang mereka mereka miliki. Komitmen sosiologi konflik adalah studi sosiologi yang melihat gejala sosial dengan suatu jawaban kokoh dan tidak mencari jawaban historis yang bisa bersifat lain antara ruang kejadian satu dengan ruang yang lain.
Peta teori sosiologi konflik yang berelief Dahrendorf, Coser, Charles Tilly, Johan Galtung, sampai Ted Gurr yang mewakili tradisi positivisme, dan corak madzab kritis begitu dominan dalam lingkungan akademis. Sosiologi pengetahuan, terutama pemikiran konstruksi sosial atas kenyataan Berger dan Luckmann (1966/1990), masih harus mengembangkan dirinya. Menapaki masyarakat konflik dengan teori konstruksi sosial adalah hal baru di lingkungan akademis Indonesia, sehingga cukup menarik jika melihat fenomena konflik dari sini.

Antropologi

Antropologi adalah suatu studi ilmu yang mempelajari tentang manusia baik dari segi budaya, perilaku, keanekaragaman, dan lain sebagainya. Antropologi adalah istilah kata bahasa Yunani yang berasal dari kata anthropos dan logos. Anthropos berarti manusia dan logos memiliki arti cerita atau kata.
Objek dari antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan dan prilakunya. Ilmu pengetahuan antropologi memiliki tujuan untuk mempelajari manusia dalam bermasyarakat suku bangsa, berperilaku dan berkebudayaan untuk membangun masyarakat itu sendiri.
Macam-Macam Jenis Cabang Disiplin Ilmu Anak Turunan Antropologi :
A. Antropologi Fisik
1. Paleoantrologi adalah ilmu yang mempelajari asal usul manusia dan evolusi manusia dengan meneliti fosil-fosil.
2. Somatologi adalah ilmu yang mempelajari keberagaman ras manusia dengna mengamati ciri-ciri fisik.
B. Antropologi Budaya
1. Prehistori adalah ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan perkembangan budaya manusia mengenal tulisan.
2. Etnolinguistik antrologi adalah ilmu yang mempelajari suku-suku bangsa yang ada di dunia / bumi.
3. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam kehidupan masyarakat suku bangsa di seluruh dunia.
4. Etnopsikologi adalah ilmu yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan individu pada bangsa dalam proses perubahan adat istiadat dan nilai universal dengan berpegang pada konsep psikologi.
Di samping itu ada pula cabang ilmu antropologi terapan dan antropologi spesialisasi. Antropology spesialisasi contohnya seperti antropologi politik, antropologi kesehatan, antropologi ekonomi, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Ruang Lingkup Antropologi
 Prehistori & Arkeologi
 Etnologi (diskriptif dan komparatif)
 Etnografi (diskriptif dan analitik)
 Etno-multidisipliner
 Sistem Sosial dan Budaya
 Perubahan dan Proses Budaya
 Antropologi Terapan
Teori-Teori Utama dalam Antropologi Budaya
 Teori Evolusionisme
 Teori Difusionisme
 Teori Fungsioalisme
 Teori Strukturalisme
 Teori Hermeneutika, Simbol, dan Interpretif
 Teori Sosial Kritis dan Marxisme
 Teori Postmodernisme
Hubungan Antropologi dengan Ilmu-Ilmu Lain
 Filsafat
 Sosiologi
 Psikologi
 Ekonomi
 Politik
 Linguistik
 dan ilmu – ilmu eksakta

Pengertian Ilmu Sosiologi


Pengertian Ilmu Sosiologi - Presentation Transcript
1. What is the meaning of “ Science ” ?
o Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang ilmiah yang didapat melalui langkah-langkah sistematis dan dapat diperiksa, ditelaah secara mendalam oleh orang lain.
2. Membandingkan antara ilmu, ilmu pengetahuan, dan pengetahuan
o Ilmu adalah sekumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis yang menggunakan penalaran dan metode tertentu (ilmiah) agar kebenarannya dapat diuji secara kritis.
o Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca indera atau segala sesuai yang kita ketahui dari berbagai sumber yaitu bernalar, pengalaman, wewenang, intursi.
o Jadi, ilmu pengetahuan yaitu kumpulan pengetahuan yang berasal dari kesan di dalam pikiran manusia yang dapat melalui langkah-langkah sistematis.
3. The Characteristics of Science?
o Bersifat empiris, yaitu didasarkan pada observasi dan akal sehat yang hasilnya tidak bersifat spekulatif
o Bersifat teoritis, yaitu selalu berusaha menyusun abstraksi dari hasil observasi yang konkret dilapangan dan abstraksi tersebut merupakan kerangka dari kerangka dari unsur – unsur yang tersusun secara logis dan bertujuan menjalankan hubungan sebab akibat.
o Bersifat kumulatif, artinya teori – teori sosiologi dibentuk berdasarkan teori yang sudah ada, kemudian diperbaiki, diperluas dan diperhalus.
o Bersifat non etis, yang dipersoalkan dalam sosiologi bukanlah baik buruknya fakta tertentu, akan tetapi menjelaskan fakta tersebut secara analitis.
4. Classifying of Science
o ilmu pengetahuan alam, yaitu suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang alam. Contoh : Biologi, Fisika, Geologi, Hidrologi, kartografi, Geo,osfologi, dll.
o Ilmu Pengetahuan Sosial, yaitu suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kehidupan sosial. Contoh : Sosiologi, antropologi, ekonomi, s ejarah, hukum, manajemen, dll.
o Ilmu Pengetahuan Murni, yaitu ilmu yang bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan pengetahuan secara abstrak untuk mempertinggi mutunya, namun segi penerapannya bukan menjadi perhatian utama. Contoh : sosiologi, antropologi, ekonomi, sejarah.
o Ilmu Pengetahuan Terapan, Yaitu ilmu yang bertujuanuntuk mencari cara – cara mempergunakan pengetahuan ilmiah guna memecahkan masalah praktis. Contoh : administrasi, Pemerintahan, Jurnalistik, dll.
5. The Meaning of Sociology in Etimology?
o Sociology is a term that from latin socius mean friend, and logos from Greece mean story. Sociology appear since hundred years, even thousand years ago. But sociology as a science that learn about people, born next in Europe.
 Sociology ( from latin : Socius “ Companion and logos ‘ knowledge “ ) is an academic and applied disipline that studies society and human social interaction.
6.
o WHAT IS SOCIOLOGY ?
7.
o Sociology is science about people characteristic, attitude, and development. As the branch of science, sociology found for the first time by France scientist, August Comte. He is famous with “Father of Sociology” .
o Ilmu yang mempelajari tentang masyarakat.
o ilmu yang memusatkan perhatian pada segi – segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola – pola umum kehidupan masyarakat.
8.
o KESIMPULAN :
o Sosiologi adalah pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil – hasil pemikiran ilmiah dan dapat dikontrol secara kritis oleh orang lain atau umum .
9. Sosiologi Pokok bahasan Sejarah Perkembangan Empiris Kegunaan Ciri-ciri Sebagai Ilmu Pengetahuan Teoritis Kumulatif Non-Etis Tindakan Sosial Fakta Sosial Realitas Sosial Khayalan Sosial Meliputi Meliputi Dilihat dari
Sebagai social statistics, ilmu sosiologi merupakan sebuah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sementara sebagai social dynamics, ilmu sosiologi meneropong bagaimana lembaga-lembaga tersebut berkembang dan mengalami perkembangan sepanjang masa.
Tiga tahap perkembangan pikiran manusia:
1. Tahap teologis, ialah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia ini mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh sesuatu kekuatan yang berada di atas manusia.
2. Tahap metafisis, pada tahap ini manusia masih percaya bahwa gejala-gejala di dunia ini disebabkan oleh kekuatan-kekuatan yang berada diatas manusia.
3. Tahap positif, merupakan tahap di mana manusia telah sanggup untuk berpikir secara ilmiah. Pada tahap ini berkembanglah ilmu pengetahuan.

Pengertian Ilmu Sosiologi



Pengertian Ilmu Sosiologi - Presentation Transcript

  1. What is the meaning of “ Science ” ?
    • Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang ilmiah yang didapat melalui langkah-langkah sistematis dan dapat diperiksa, ditelaah secara mendalam oleh orang lain.
  2. Membandingkan antara ilmu, ilmu pengetahuan, dan pengetahuan
    • Ilmu adalah sekumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis yang menggunakan penalaran dan metode tertentu (ilmiah) agar kebenarannya dapat diuji secara kritis.
    • Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca indera atau segala sesuai yang kita ketahui dari berbagai sumber yaitu bernalar, pengalaman, wewenang, intursi.
    • Jadi, ilmu pengetahuan yaitu kumpulan pengetahuan yang berasal dari kesan di dalam pikiran manusia yang dapat melalui langkah-langkah sistematis.
  3. The Characteristics of Science?
    • Bersifat empiris, yaitu didasarkan pada observasi dan akal sehat yang hasilnya tidak bersifat spekulatif
    • Bersifat teoritis, yaitu selalu berusaha menyusun abstraksi dari hasil observasi yang konkret dilapangan dan abstraksi tersebut merupakan kerangka dari kerangka dari unsur – unsur yang tersusun secara logis dan bertujuan menjalankan hubungan sebab akibat.
    • Bersifat kumulatif, artinya teori – teori sosiologi dibentuk berdasarkan teori yang sudah ada, kemudian diperbaiki, diperluas dan diperhalus.
    • Bersifat non etis, yang dipersoalkan dalam sosiologi bukanlah baik buruknya fakta tertentu, akan tetapi menjelaskan fakta tersebut secara analitis.
  4. Classifying of Science
    • ilmu pengetahuan alam, yaitu suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang alam. Contoh : Biologi, Fisika, Geologi, Hidrologi, kartografi, Geo,osfologi, dll.
    • Ilmu Pengetahuan Sosial, yaitu suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kehidupan sosial. Contoh : Sosiologi, antropologi, ekonomi, s ejarah, hukum, manajemen, dll.
    • Ilmu Pengetahuan Murni, yaitu ilmu yang bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan pengetahuan secara abstrak untuk mempertinggi mutunya, namun segi penerapannya bukan menjadi perhatian utama. Contoh : sosiologi, antropologi, ekonomi, sejarah.
    • Ilmu Pengetahuan Terapan, Yaitu ilmu yang bertujuanuntuk mencari cara – cara mempergunakan pengetahuan ilmiah guna memecahkan masalah praktis. Contoh : administrasi, Pemerintahan, Jurnalistik, dll.
  5. The Meaning of Sociology in Etimology?
    • Sociology is a term that from latin socius mean friend, and logos from Greece mean story. Sociology appear since hundred years, even thousand years ago. But sociology as a science that learn about people, born next in Europe.
      • Sociology ( from latin : Socius “ Companion and logos ‘ knowledge “ ) is an academic and applied disipline that studies society and human social interaction.

6.

    • WHAT IS SOCIOLOGY ?

7.

    • Sociology is science about people characteristic, attitude, and development. As the branch of science, sociology found for the first time by France scientist, August Comte. He is famous with “Father of Sociology” .
    • Ilmu yang mempelajari tentang masyarakat.
    • ilmu yang memusatkan perhatian pada segi – segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola – pola umum kehidupan masyarakat.

8.

    • KESIMPULAN :
    • Sosiologi adalah pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil – hasil pemikiran ilmiah dan dapat dikontrol secara kritis oleh orang lain atau umum .
  1. Sosiologi Pokok bahasan Sejarah Perkembangan Empiris Kegunaan Ciri-ciri Sebagai Ilmu Pengetahuan Teoritis Kumulatif Non-Etis Tindakan Sosial Fakta Sosial Realitas Sosial Khayalan Sosial Meliputi Meliputi Dilihat dari

Sebagai social statistics, ilmu sosiologi merupakan sebuah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sementara sebagai social dynamics, ilmu sosiologi meneropong bagaimana lembaga-lembaga tersebut berkembang dan mengalami perkembangan sepanjang masa.

Tiga tahap perkembangan pikiran manusia:

  1. Tahap teologis, ialah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia ini mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh sesuatu kekuatan yang berada di atas manusia.
  2. Tahap metafisis, pada tahap ini manusia masih percaya bahwa gejala-gejala di dunia ini disebabkan oleh kekuatan-kekuatan yang berada diatas manusia.
  3. Tahap positif, merupakan tahap di mana manusia telah sanggup untuk berpikir secara ilmiah. Pada tahap ini berkembanglah ilmu pengetahuan.