Teori Sosiologi dan Antropologi
Bila teori konflik struktural sedikit simplistis dalam menjelaskan distribusi kekuasan dan benturan ideologis, sosiologi pengetahuan tidak berhenti sampai di situ. Sosiologi pengetahuan memandang keterlibatan kekuatan dalam konflik masih memerlukan penjelasan proses sosial dan dialektikanya. Perspektif sosiologi konflik struktural tidak cukup memberi perhatian terhadap aspek sosio historis dan tindakan dari konteks sosial dimana konflik muncul. Sedangkan sosiologi pengetahuan memiliki keinginan untuk melacak proses sosial dan dan bangunan sifat-sifat spesifik sosiokultural.
A. Review Literatur Sosiologi Pengetahuan
Sosiologi pengetahuan, sebagaimana menurut Collins Dictionary of Sociology (Jary&Jary, 1991 : 607-609), merupakan sebuah cabang sosiologi yang mengkaji proses-proses sosial yang melibatkan produksi pengetahuan. Salah satu tesis penting sosiologi pengetahuan, seperti yang dirumuskan Karl Manheim, adalah adanya kaitan antara pengetahuan dan kehidupan dan kesalingketerkaitan antara pikiran dan tindakan. Dengan demikian pengetahuan tidak pernah merupakan produk sosial yang bebas dari unsur-unsur nilai dan kepentingan, dan selalu berkait dengan keanggotaan kelompok dan lokasi dari individu-individu.
Max Scheler mungkin bisa disebut orang yang pertama kali mengembangkan pemikiran sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge/wissenssoziologie), ia adalah filsuf dari Jerman pada dasawarsa 1920-an. Kemudian menyusul Karl Mannheim sebagai pelopor bagi terbangunnya kerangka teori sosiologi pengetahuan yang lebih kongkret dalam analisa sosiologi, dengan jelas ia menuliskannya kedalam bukunya Ideologi dan Utopia; Menyingkap Pikiran dan Politik. Sosiologi pengetahuan kemudian semakin memperoleh perhatian besar di Amerika ketika Peter L. Berger dan Thommas Luckmann menulis buku tentang sosiologi pengetahuan berjudul Social Construction of Reality (1966) yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul Konstruksi Sosial Atas Kenyataan; Suatu Risalah Sosiologi Pengetahuan (LP3ES,1990).
Sosiologi pengetahuan Berger merupakan hasil kerja intelektual yang banyak mendapatkan sumbangan dari tokoh-tokoh klasik, dari Karl Marx, Max Weber, Durkheim, sampai fenomenologi Alfred Schuezt. Berger berupaya menemukan jalan damai dari perdebatan ilmiah dalam sosiologi dengan bangunan teori sosiologi pengetahuan yang ia kembangkan. Upaya-upaya yang dilakukan Berger dengan membangun sebuah teori konstruksi sosial tentang kenyataan ini sungguh menarik sebagaimana yang dicatat Margaret M. Poloma (1992: 303), bahwa dalam karya-karya Berger jelas terlihat usaha untuk menjembatani yang makro dan mikro, bebas nilai dan sarat nilai, interaksionis dan strukturalis, maupun teoritis dan relevan.
Sosiologi pengetahuan menganalisis apa saja yang dianggap sebagai pengetahuan dalam masyarakat awam. Sejauh mana semua “pengetahuan” manusia itu dikembangkan, dialihkan, dan dipelihara dalam berbagai situasi sosial, maka sosiologi pengetahuan berusaha memahami bagaimana proses-proses itu dilakukan, sedemikian rupa sehingga pada akhirnya terbentuklah “kenyataan” yang dianggap sudah sewajarnya oleh orang-orang awam. Dengan kata lain, bahwa sosiologi pengetahuan menekuni analisa pembentukan kenyataan oleh masyarakat (social construction of reality). Kebalikan dari Marx tentang yang material menghasilkan pengetahuan, sosiologi pengetahuan menelaah dan membuktikan bahwa pengetahuan menghasilkan yang material.
Secara konseptual sosiologi pengetahuan muncul sebagai respon terhadap realitas ilmu-ilmu sosial yang mengadopsi ilmu alam baik dalam teori, metodologi, dan epistemologi. Kerangka pemikiran yang positivistik dalam ilmu sosial telah menghancurkan sisi internal manusia, atau sisi humanistik ke dalam postulat-postulat kaku, sehingga sosiologi pengetahuan memberikan peluang baru bagi ilmu sosial untuk bergerak dalam menangani fenomena sosial dengan memasukkan unsur humanistis sekaligus fakta sosial.
Secara langsung sosiologi pengetahuan memiliki hutang budi terhadap tokoh-tokoh klasik seperti Karl Marx, Max Weber, Emile Durkeim, dan terhadap tradisi pemikiran fenomenologi Huserl sampai Alfred Schuzt. Kenyataannya teori ini berusaha menengahi dari berbagai aliran yang berkembang dalam pemikiran ilmu sosial. Seperti usahanya dalam menghadapi kenyataan sosial, yang tidak hanya bersifat objektif atau subjektif an sich, tetapi lebih sebagai kenyataan sosial ganda yang melibatkan proses dialektis masyarakat.
Sosiologi Pengetahuan dan Konstruksi Sosial
Sosiologi pengetahuan, dalam pemikiran Berger dan Luckman (1966/1990), memahami dunia kehidupan (lebenswelt/life world) selalu dalam proses dialektis, antara the self (individu) dan dunia sosio kultural. Proses dialektis itu mencakup tiga momen simultan, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosio kultural sebagai produk manusia), objektivasi ( interaksi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidentifikasi dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya).
Fase eksternalisasi dan objektivasi merupakan pembentukan masyarakat yang disebut sebagai sosialisasi primer, yaitu saat dimana seseorang berusaha mendapatkan dan membangun tempatnya dalam masyarakat. Kedua fase ini membuat orang memandang masyarakat sebagai realitas objektif, disebut juga man in society. Tahap internalisasi, yang lebih lanjut agar pranata itu dapat dipertahankan dan dilanjutkan, haruslah ada pembenaran terhadap pranata tersebut, tetapi pembenaran itu dibuat juga oleh manusia sendiri melalui proses legitimasi yang disebut objektivasi sekunder. Pranata sosial merupakan hal yang objektif, independen dan tak tertolak yang dimiliki oleh individu secara subjektif. Ketiga momen dialektis itu mengandung feneomen-fenomen sosial yang yang saling bersintesa dan memunculkan suatu konstruksi kenyataan sosial, yang dilihat dari asal mulanya merupakan hasil ciptaan manusia, buatan interaksi subjektif.
Kenyataan sosial objektif yang terlihat dalam hubungan individu dengan lembaga-lembaga sosial dilandasi oleh aturan-aturan atau hukum merupakan produk manusia itu sendiri, bukan merupakan hakekat dari lembaga-lembaga itu. Ciri coersive yang menyertai struktur sosial yang objektif merupakan suatu perkembangan aktivitas manusia dalam proses eksternalisasi atau interaksi manusia dengan struktur-struktur sosial yang sudah ada. Kenyataannya aturan sosial tersebut akan terus berhadapan dengan proses eksternalisasi. Perubahan sosial dan strukturnya akan sangat tergantung bagaimana eksternalisasi berlangsung. Perubahan sosial akan terjadi bila eksternalisasi ternyata membongkar tatanan yang sudah terbentuk. Sedangkan dalam masyarakat stabil proses eksternalisasi individu-individu akan mengidentifikasi dirinya ke dalam peranan-peranan yang sudah mapan. Peranan menjadi unit dasar dasar dari aturan-aturan yang terlembaga secara objektif. Struktur objektif masyarakat tidak menjadi produk akhir dari suatu interaksi sosial, karena struktur berada dalam suatu proses objektivasi menuju suatu bentuk baru internalisasi yang akan melahirkan suatu proses proses eksternalisasi baru.
Struktur kesadaran subjektif individu dalam sosiologi pengetahuan menempati posisi yang sama dalam memberikan penjelasan kenyataan sosial. Setiap individu menyerap bentuk tafsiran tentang kenyataan sosial secara terbatas, sebagai cermin dari dunia objektif. Dalam proses internalisasi, tiap individu bebeda-beda dalam dimensi penyerapan, ada yang lebih menyerap aspek ekstern, ada juga yang ebih menyerap bagian intern. Tidak setiap individu dapat menjaga keseimbangan dalam penyerapan dimensi objektif dan dimensi subjektif kenyataan sosial itu. Kenyataan yang diterima individu dari lembaga sosial, menurut Berger, membutuhkan cara penjelasan dan pembenaran atas kekuasaan yang sedang dipegang dan dipraktekkan.
Pelembagaan pandangan atau pengetahuan oleh masyarakat itu akhirnya memperoleh generalitas yang paling tinggi, dimana dibangun suatu dunia arti simbolik yang universal, yang kemudian disebut sebagai pandangan hidup atau ideologi. Pandangan hidup yang diterima umum itu dibentuk untuk menata dan memberi legitimasi pada konstruksi sosial yang sudah ada serta memberikan makna pada pelbagai bidang pengalaman mereka sehari-hari. Legitimasi di sini adalah proses penjelasan (unsur kognitif) dan pembenaran (unsur normatif) dari suatu interaksi antara individu.
Dengan memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan dan masalah legitimasi maka kenyataan sosial itu merupakan suatu konstruksi sosial buatan masyarakat sendiri dalam perjalanan sejarahnya dari masa silam, ke masa kini dan menuju masa depan. Konstruksi sosial itu sendiri pada gilirannya berkarakter plural, relatif, dan dinamis. Dalam arti, bahwa lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat memiliki kehendak dalam membangun realitas sosial, dan setiap kehendak tersebut harus berhadapan satu sama lain dan berusaha saling mendominasi. Masyarakat dalam dunia kehidupan mereka selalu terlibat dalam usaha dominasi, oleh sebab itu pertikaian diantara kelompok-kelompok sosial sering muncul.
B. Analisis Konflik Sosiologi Pengetahuan
Konflik Agama Dalam Konstruksi Sosial
Konflik adalah fenomena sosial dan ia merupakan kenyataan bagi masyarakat yang terlibat di dalamnya. Artinya masyarakat menyadari dan merasakan bahwa konflik itu muncul dalam dalam dunia sehari-hari. Konfllik juga sebagai suatu proses sosial, proses perubahan dari tatanan sosial yang lama ke tatanan sosial yang berbeda. Konflik antar komunitas dalam masyarakat difenisikan sebagai suatu kondisi wajar tetapi bila sudah melibatkan kekerasan kewajaran konflik menjadi tidak lagi. Konflik bersifat inheren dalam kesadaran masyarakat sehingga selalu ada gambaran yang nyata tentang fenomena tersebut. Bahkan masyarakat menyimpan pengalaman tentang konflik sebagai pengetahuan dan realitas sosial mereka.
Mengikuti sosiologi Pengetahuan yang dikembangkan oleh Peter L. Berger dan Luckmann (1966, 1990) bahwa realitas sosial berupa pengetahuan yang bersifat keseharian seperti konsep, kesadaran umum dan wacana publik merupakan hasil konstruksi sosial. Kenyataan itu sendiri bersifat plural, dinamis dan dialektis. Demikian juga pengetahuan konflik agama. Dalam perspektif konstruksi sosial, pengetahuan konflik agama sebagai realitas, tidak pernah merupakan realitas tunggal yang bersifat statis dan final, melainkan merupakan realitas plural yang bersifat dinamis dan dialektis. Kenyataan bersifat plural karena adanya relativitas sosial dari apa yang disebut ‘pengetahuan’ dan ‘kenyataan’.
Diilustrasikan oleh Berger dan Luckman (1990:3-4): apa yang nyata bagi seorang biarawan Tibet mungkin saja tidak ‘nyata’ bagi seorang pengusaha Amerika; ‘pengetahuan’ seorang penjahat berbeda dengan ‘pengetahuan’ ahli kriminologi.
Pengetahuan konflik agama sebagai hasil dari konstruksi sosial pun bersifat plural, mengikuti pluralitas konstruksi yang dibuat oleh kelompok-kelompok sosial. Setiap kelompok sosial memiliki referensi nilai-nilai dan preferensi kepentingan yang berbeda-beda, dan perbedaan ini membawa konsekuensi terhadap konflik sosial antara komunitas agama dalam dunia kenyataan. Selain plural, konflik agama juga bersifat dinamis. Realitas pengetahuan konflik agama sebagai konstruksi sosial bersifat dinamis karena sesungguhnya selalu berada dalam dialektika sosial. Dalam level individual. dialektika berlangsung dalam faktisitas objektif dan makna subjektif konflik agama bagi individu. Sementara dalam level sosial, pluralitas konstruksi terhadap pengetahuan konflik agama mengalami dialektika pula.
Sebagai konstruksi sosial, pengetahuan konflik agama merupakan sekaligus realitas objektif dan realitas subjektif. Sebagai realitas objektif pengetahuan konflik agama merupakan faktisitas objektif yang bersifat eksternal dan koersif. Sebagai realitas objektif, pengetahuan konflik agama misalnya meliputi seperangkat doktrin yang sudah terumuskan secara permanen, rumusan-rumusan operasional lainnya, serta praktek implementasi konflik agama itu sendiri. Hal dapat diperlihatkan dengan adanya gerakan-gerakan sosial yang bersifat politis dalam masyrakat.
Sedangkan pengetahuan konflik agama sebagai realitas subjektif berarti menyangkut makna, interpretasi, dan relasi subjektif individu terhadap konflik agama. Setiap individu mempunyai latar belakang sejarah, konstruksi ide, sampai minat dan kepentingan yang bisa berbeda-beda dalam mengahadapi konflik agama. Pengetahuan konflik agama sebagai realitas objektif dan realitas subjektif terus menerus berhubungan secara dialektis.
Realitas pluralisme konstruksi sosial dalam masyarakat menumbuhkan persaingan untuk berebut pengaruh dan menjadi konstruksi dominan. Gilirannya, fenomena kekuasaan ikut terlibat, dari sinilah kemudian fenomena ideologi muncul. Menurut Berger, ketika suatu definisi tertentu mengenai kenyataan pada akhirnya dikaitkan dengan suatu kepentingan kekuasaan yang kongkrit, ia bisa dinamakan ideologi. Pengetahuan konflik agama yang turun dalam bentuk yang antagonis, bersifat doktrin, merupakan bentuk pengetahuan yang dibentuk oleh kekuasaan dalam masyarakat.
Dalam perspektif Berger, kekuasaan mempunyai peranan penting dalam kehidupan sosial. Sehingga menurutnya, kekuasaan dalam masyarakat mencakup kekuasaan untuk menetapkan proses-proses sosialisasi yang sifatnya menentukan dan, dengan demikian, kekuasaan untuk membuat kenyataan. Jelasnya, benar dan salah, baik dan buruk, menjadi wewenang kekuasaan dalam menentukannya.
Berkaitan dengan fenomena ideologi maka bisa dikatakan bahwa ia tidak semata-semata merupakan sebuah konstruksi sosial yang berada dalam ruang yang kosong politik. Seperti pendapat Mannheim bahwa ideologi adalah bentuk pengetahuan yang sudah terkontaminasi keinginan-keinginan subjektif, yaitu hasrat politik. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ideologi merupakan sebuah konstruksi sosial politik; sebuah konstruksi sosial yang kehadirannya berkaitan dengan kepentingan-kepentingan kekuasaan dan penguasaan. Konflik Agama dan pengetahuan tentangnya akhirnya dijadikan ideologi, dalam bentuknya yang antagonis, seperti permusuhan abadi, keburukan tindakan “mereka” di luar “kita”, untuk kepentingan yang tidak selalu terbaca oleh masyarakat awam.
Konflik antara komunitas-komunitas agama di Ambon Maluku adalah sebagai hasil pengetahuan konflik agama dalam setiap komunitas sosial, Islam dan Kristen, dalam mengarahkan tindakan mereka menghadapi dunia sosial. Konflik agama itu melibatkan proses sosial yang dialektis antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat, yang menyertakan fenomena ekonomi dan politik, sebagai konstruksi sosial.
Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan
Tentang pengetahuan, Berger, banyak mengambil dari pemikiran fenomenologi Alfred Schutz. Pemikiran sosiologi fenomenologi Schutz menjelaskan tiga unsur pengetahuan yang membentuk pengertian manusia tentang masyarakat yaitu dunia sehari-hari, Sosialitas dan makna.
Dunia sehari-hari sebagai dunia yang paling fundamental dan dunia terpenting bagi manusia. Dia menjadi orde tingkat satu (the first order of reality), yang sekaligus menjadi sumber dan dasar bagi pembentukan orde-orde selanjutnya. Kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagi kenyataan yang ditafsirkan oleh manusia dan mempunyai makna subjektif bagi mereka sebagai satu dunia yang koheren (Berger&Luckamn, 1990: 28).
Sosialitas mengacu pada teori Max Weber mengenai tindakan sosial (social action, soziales handeln). Tindakan sosial yang terjadi setiap hari adalah proses dimana terbentuk berbagai makna (Cambell, 1990 : 89). Ada dua fase pembentukan tindakan sosial. Pertama kali tindakan yang diorientasikan pada benda fisik sehingga belum menjadi tindakan sosial, setelah tindakan itu mengorientasikan pada orang dan mendapatkan makna subjektif pada saat itulah terbentuk tindakan sosial.
Makna dan pembentukan makna merupakan sumbangan Schutz yang penting dan orisinal kepada gagasan fenomenologi tentang makna dan bagaimana makna membentuk struktur sosial. Kalau orde dasar bagi masyarakat adalah dunia sehari-hari maka makna dasar bagi pengertian manusia adalah common sense, yang terbentuk dalam bahasa percakapan sehari-hari. Common sense didefinisikan sebagai pengetahuan yang ada pada setiap orang dewasa yang sadar. Pengetahuan ini sebagian besar tidak berasal dari penemuan sendiri, tetapi diturunkan secara sosial dari orang-orang sebelumnya. Bahasa ibu misalnya adalah sebuah khasanah pengetahuan pertama bagi setiap orang yang telah dipelajari dan diterimanya begitu saja, tanpa orang mengetes kebenarannya secara sadar.
Common sense terbentuk melalui tipifikasi yaitu penyusunan dan pembentukan tipe-tipe pengertian dan tingkah laku untuk memudahkan pengertian dan tindakan. Tipifikasi ini tidak hanya menyangkut pandangan dan tingkah laku, tetapi menyangkut juga pembentukan makna. Hal ini terjadi karena orang-orang yang terlibat dalam komunikasi melalui bahasa dan interaksi sosial kemudian membangun semacam sistem relevansi bersama, dengan melepaskan dari tiap individu atau tiap peristiwa hal-hal yang bersifat individual untuk merujuk satu atau beberapa ciri yang sama yang dianggap relevan.
Penggolongan makna kedalam berbagai tipe kemudian menghasilkan apa yang oleh Schutz dinamakan daerah makna yang terbatas (the finite province of meaning).
Suatu daerah makna berbeda dengan daerah makna yang lain karena masing-masing memiliki gaya kognitif (cognitive style) yang berbeda dengan memberi tekanan yang berbeda kepada kenyataan (the accent of reality). Tekanan khusus kepada realitas yang terjadi dalam tiap daerah makna hanya dapat terjadi kalau di sana juga terjadi ephoce, yaitu menghilangkan keragu-raguan mengenai segi-segi tertentu dari kenyataan itu, sekurang-kurangnya buat sementara waktu.
Pengetahuan tidak begitu saja tampil tanpa terlibatnya lembaga sosial yang memegang kunci kekuasaan. Berger melihat negara adalah sebagai lembaga terbesar yang mampu menentukan kenyataan bagi individu-individu dan menentukan eksternalisasi dalam dunia sosial. Negara dan kekuasaan yang dimilikinya menghendaki struktur sosial yang sesuai dengan kepentingannya. Aturan-aturan diciptakan dan dipaksakan sebagai pengetahuan dalam masyarakat, sehingga terbentuklah kenyataan sosial yang dikehendaki. Proses ini merupakan social enginering dengan turunnya dominasi kekuasaan dalam kehidupan sosial. Ketika negara dalam frekwensi tertentu mengurangi, atau terpaksa mengurangi karena faktor tertentu, dominasinya dalam menetukan kenyataan, konstruksi sosial akan melibatkan peran kelompok-kelompokl sosial lainnya yang memiliki kepentingan dalam menentukan kenyataan.
Keterkaitan antara pengetahuan dan kepentingan, menyebabkan munculnya fenomena ideologi. Karena kepentingan memiliki sifat subjektif, dan bagi Mannheim menyebabkan pengetahuan tidak lagi bersifat universal, maka pengetahuan yang telah dikendalikan kepentingan menjadi ideologi. Pengertian ideologi dalam pemahaman Berger adalah suatu dunia arti simbolik yang universal, yang merupakan pandangan hidup masyarakat. Fungsinya adalah untuk memberikan legitimasi pada konstruksi sosial yang sudah ada serta memberikan makna pada pelbagai bidang pengalaman mereka sehari-hari.
Legitimasi melibatkan pengertian kognitif, yang berarti penjelasan terhadap kenyataan, dan unsur normatif yang bersifat membenarkan. Artinya tindakan yang muncul dalam konteks sosial tertentu telah mendapatkan penjelasan dan pembenaran dari lembaga-lembaga sosial melalui ideologi, dan tindakan tersebut merupakan kenyataan bagi individu. Proses itu memperlihatkan kepentingan yang ada dalam pengetahuan.
Jurgen Habermas memberikan pernyataan bahwa pengetahuan selalu berkaitan dengan kepentingan (Hardiman, 1990:109-189). Menurut Habermas, upaya memisahkan pengetahuan dari kepentingan sebenarnya hanya bersifat semu dan palsu, bahkan menjadi alat terselubung bagi suatu kepentingan tersendiri. Bentuk pengetahuan adalah bentuk kepentingan dari mana pengetahuan itu muncul. Common sense sebagai pengetahuan pertama pun tidak lepas dari kepentingan dan dominasi keluarga atau orang-orang sebelumnya.
Habermas dalam rumusan filosofisnya membenarkan bahwa pengetahuan selalu terhubung dengan kepentingan, antara teori dan praksis tidak dapat dipisahkan. Menurut Habermas analisis empiris-analitis mempunyai kepentingan praktis, analisis teori historis hermeunitis mempunyai kepentingan komunikatif, dan teori kritis mempunyai kepentingan emansipatoris. Antara teori dan praksis sosial tidak dapat dipisahkan karena di dalam setiap pengetahuan akan selalu ditemukan kepentingan dari pengetahuan itu sendiri.
Pengetahuan dan kepentigan membentuk makna dalam interaksi sosial, dan tindakan yang dapat muncul dalam jaringan makna dalam dunia sosial. Pemaknaan adalah realitas terbatasnya individu dan kelompok-kelompok sosial di dalam wilayah pengetahuan dan kepentingan mereka. Dalam fenomenologi mereka memiliki daerah makna sendiri-sendiri, dan oleh sebab itu, struktur sosial dan dunia kehidupan itu terus bergerak sejauh pemaknaan dan kepentingan-kepentingan memperjuangkan dirinya secara subyektif.
Agama, Pengetahuan, dan Konflik Agama
Agama telah memperoleh kajian dari sosiologi agama yang mengupayakan pemahaman relasi agama dan masyarakat. Bagaimana agama memperlakukan dan diperlakukan masyarakat, pengaruh agama dalam membangun struktur sosial, budaya, dan konflik yang muncul karenanya. Sosiologi agama membedakan dirinya dari pengertian para teolog dalam menjelaskan persoalan dan jawaban agama, walaupun pada dasarnya sosiologi agama sangat bermanfaat bagi para ahli teologi.
Sosiologi agama tidak memberikan penjelasan tentang benar dan salah, kebenaran Tuhan, aturan yang harus dijalankan, sebagaimana para teolog menjelaskannya. Sosiologi dalam mengkaji fenomena agama bertugas mencari hubungan yang muncul dari adanya agama dalam masyarakat dan sebaliknya. Seorang sosiolog tidak hanya mengkaji persoalan agama yang dianutnya tetapi ia mengambil agama-agama di luar dirinya dan membahasnya secara sosiologis. kajian terhadap agama sendiri memang cukup beragam, seperti kajian agama Emile durkheim, Max Weber, Karl Marx, sampai kemudian para tokoh sosiologi modern seperti Peter L. Berger, Thomams Luckmann, Yinger, Gregory Baum, dan lainnya.
Studi ini akan banyak menarik bantuan dari kajian sosiologi agama terutama dalam upaya menemukan pemahaman agama dalam hubungan timbal balik dengan masyarakat. Bagaimana masyarakat mendefinisikan agama, menafsirkannya, dan mengolah pengalaman dalam hidupnya dalam hubungannya dengan agama. Sosiologi agama bertugas memahami makna yang diberikan oleh masyarakat tertentu terhadap sistem agamanya sendiri dan berbagai antar hubungan agama tersebut (Scharf, 1995: 3).
Salah satu pembahasan terhadap agama dilakukan sosiologi pengetahuan, oleh Peter L Berger, dalam bukunya The Sacret Canopy dan The Social Reality of Religion, dan Thomas Luckman dalam ukunya The Invisble Religion. Berger memberikan pemahaman bahwa ada pengaruh timbal balik antar berbagai sistem makna, yang mencakup juga berbagai sistem agama, dan pengalaman sosial maupun perorangan yang dicoba tafsirkan oleh manusia berdasarkan sistem-sistem semacam itu (Scharf, 1995: 98).
Sistem makna sendiri merupakan produk sosial, bukan perorangan, yakni produk semua orang yang hidup dalam hubungan bersama satu sama lain pada suatu saat, dan juga merupakan produk nenek moyang mereka. Agama dalam dunia sosial adalah sistem makna yang tidak hanya merupakan kebenaran firman Tuhan (norrmatif), yaitu realitas transendental, tetapi ia pun adalah realitas historis yang tidak lepas dari bagaimana masyarakat manusia memilikinya dan menggunakannya dalam setiap konteks sosial tertentu. Sebagai realitas historis agama tidak lepas dari kesejarahan manusia dan kehidupannya yang berada dalam ruang dan waktu.
Pengalaman yang membentuk pengetahuan dalam setiap individu dan secara sosial dikonstruksikan sebagai cadangan pengetahuan bersama, dengan cadangan pengetahuan itulah kemudian lingkungan sosial diperlakukan. Pengetahuan setiap komunitas agama dalam dunia sehari-hari dibentuk oleh pengalaman interaksi diantara mereka. Interaksi antar komunitas agama, antara individu dalam suatu rentang ruang dan waktu, menghasilkan pengalaman dan pengetahuan yang spesifik. Seperti dalam pandangan Gofmann bahwa manusia masuk dalam situasi tatap muka, face to face, sebagai interaksi yang melibatkan penafsiran diantara mereka yang terlibat dengan pengalaman sebelumnya dan menciptakan pengalaman baru yang pada saat-saat tertentu merupakan pengalaman yang unik dan berpengaruh (Giddens, 1992: 4)
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-karakteristik spesifik. Kumpulan-kumpulan spesifik dari kenyataan dan pengetahuan berkaitan dengan konteks-konteks sosial yang spesifik, hal ini karena adanya fakta relativitas sosial. Pengalaman hidup dan agama membangun sistem makna yang menaungi pikiran individu-individu manusia. Makna yang muncul dari pengetahuan yang sudah mapan, sebagai cadangan pengetahuan, banyak menentukan bagaimana sikap dan tindakan itu muncul dalam dunia sehari-hari.
Pengetahuan komunitas-komunitas agama tentang orang lain, tentang tindakan orang lain, menciptakan makna yang saling berhubungan antara anggota-anggotanya dan membentuk sistem makna yang secara determinan memberikan perlakuan terhadap orang lain dalam interaksi tatap muka maupun tak langsung. Pengalaman para nenek moyang setiap komunitas agama yang telah diwariskan sebagai pengetahuan, dimana fenomen-feneomen itu nyata dan bersifat spsifik, menentukan apakah interaksi akan berjalan dengan lancar atau tidak.
Fenomena konflik antar komunitas agama merupakan gejala adanya interaksi antar pengetahuan dan kepentingan yang plural. Usaha saling mendominasi realitas sosial yang dilakukan melalui interaksi sehari-hari muncul dalam bentuk pembelaan, pembenaran, dan penggalian pengalaman komunitas agama masing-masing. Pada saat itulah masyarakat menentukan tindakan mereka dalam konflik agama dengan alasan yang ada dalam kepala masing-masing.
Elit Kekuasaan, Kepentingan, dan Konflik Sosial
Berger menunjuk negara sebagai lembaga kekuasaan yang paling besar dalam menentukan eksternalisasi individu-individu, yaitu tindakan penyesuaian diri kedalam dunia sosikultural yang muncul kedalam tindakan-tindakan tertentu. Namun negara sendiri, bagi Marx, adalah representasi sekumpulan kelas swasta yang mendominasi modal. Negara adalah organisasi politik yang diperebutkan sebagai alat untuk memiliki sumber daya langka, ekonomi dan politik, oleh kelompok-kelompok politik, atau kelompok-kelompok satrategis dalam istilah Hans Dieters-Ever (1990), dalam masyarakat. Setiap kelompok memiliki tokoh-tokoh penting yang berpengaruh dan memiliki kekuasaan dalam mengarahkan tindakan individu-individu, mereka adalah para elit kekuasaan yang sering membangun opini publik dalam proses perjuangan kepentingan mereka.
Charles. W. Mills ( The Power Elite,1956) mempunyai pengertian bahwa elit kekuasaan dikomposisikan dari orang-orang yang memungkinkan mereka melebihi lingkungan biasa dari orang-orang biasa, laki-laki atau perempuan; mereka ada di posisi pembuatan keputusan yang memiliki konsekuensi besar. Mereka menempati posisi pimpinan strategis dari struktur sosial, seperti pimpinan partai politik atau keagamaan, dimana dipusatkan alat-alat efektif dari kekuasaan dan kekayaan dan kemasyuran dimana mereka menikmatinya.
Elit kekuasan bukan penguasa negara. Mereka adalah para politisi profesional dari level menengah kekuasaan, dalam kongres (legislatif; MPR/DPR untuk Indonesia) dan dalam kelompok-kelompok penekan, sama halnya diantara golongan kelas baru dan lama kota atau wilayah. Posisi penting mereka dalam mempengaruhi opini publik dan mengarahkan tindakan sosial massa merupakan keahlian yang dimiliki karena tingkat pengetahuan dan kepemilikan mereka terhadap alat-alat kekuasaan, seperti usaha ekonomi, politik dan militer. Secara empiris elit dalam masyarakat Ambon pun telibat dalam bidang-bidang itu, militer, ekonomi, dan politik keagamaan. Para elit yang berpengaruh di Ambon, lokal dan nasional, secara teoritis dan empiris memperlihatkan kemampuan dan peran mereka dalam mengarahkan situasi.
Pada dasarnya elit kekuasaan tidak melepaskan kegiatan dan tindakannya dari kepentingan-kepentinganya. Studi Mills di Amerika tentang elit yang mendominasi melalui militer, ekonomi, dan wilayah politik atau partai politik mempunyai kesempatan yang besar dan kemampuan meningkatkan posisinya, sebagai orang-orang yang terpandang dalam publik. Privilege mereka dalam struktur masyarakat adalah karena faktor-faktor penguasaan mereka terhadap kekayaan, politik, dan juga militer. Kepentingan para elit dalam memperoleh dan memperkuat posisinya tidak cukup hanya menjadi perjuangan dalam rapat-rapat kongres tetapi mereka menghendaki adanya dukungan dan situasi yang menguntungkan mereka. Dukungan itu adalah masyarakat yang mereka kendalikan dengan kekuatan mereka, secara ekonomi mapun pengaruh sosial.
Tokoh-tokoh sebelum Mills, seperti Vilvedro Pareto, Gaetano Mosca (1859-1941), dan Robert Michels (1876-1936), memberikan argumentasi bahwa hanya sebagian kecil orang dalam organisasi dapat memegang wewenang, dan kedudukan posisi-posisi ini secara otomatis menempatkan mereka pada perselisihan. Elit yang dalam kontrol biasanya berbagi budaya umum, dan mereka diorganisir, tidak perlu formal, tetapi mereka melakukan tindakan bersama mempertahankan posisi mereka, bersama dengan penggunaan ini pada keuntungan individu mereka sendiri. Pada saat seperti itulah biasanya terjadi tarik menarik antara massa pendukung para elit. Lain kata, teori elit menjelaskan secara eksplisit argumen bahwa kepentingan pribadi orang-orang dan kekuatan intrinsik yang tak sama membuat konflik yang tak terhindarkan dan permanen (Wallcae &Wolf, 1986: 68-69).
Pertanyaanya apakah bila ada konflik elit politik maka ada konflik antara komunitas-komunitas dalam masyarakat? Kemampuan elit mengarahkan situasi, kepentingan mereka dalam struktur sosial dan politik, dan konflik diantara mereka, tidak cukup berhenti pada ruang terbatas dimana mereka memperebutkan sesuatu yang harus mereka miliki tetapi keikutsertaan masyarakat dalam proses konflik itu. Persoalan konflik dalam masyarakat memang tidak selalu dapat ditebak dengan cepat dan tepat karena hubungan yang cukup rumit untuk menjelaskan antara kepentingan masyarakat awam, dan kepentingan para elit, dalam dunia sosial yang luas. Pada dasarnya kepentingan elit dan masyarakat awam tidak berada di kursi yang sama. Sehingga untuk mengetahui bagaimana peran elit dalam mempengaruhi masyarakat awam adalah dengan memahami bentuk pengetahuan masyarakat yang paling penting dan kepentingan mereka sehari-hari, dan bagaimana kemudian kepentingan para elit itu juga duduk di kesadaran masyarakat.
Studi ini menyadari bahwa hubungan antara elit dan masyarakat awam tidak dapat dijelaskan secara bersamaan. Analisis yang dikembangkan di sini tidak akan menjelaskan bagaimana terbentuknya kepentingan elit dalam suatu konflik sosial dan cita-cita politik mereka namun bagaimana elit ikut terlibat dalam proses pembentukan kesadaran masyarakat awam dalam menentukan tindakan mereka. Tindakan-tindakan masyarakat awam dalam dunia sehari-hari yang diperintahkan secara langsung oleh pengetahuannya terhadap lingkungan sosial atau terhadap orang lain, yang dalam kondisi atau fase tertentu, konflik adalah satu fenomena yang mengikutinya. Karena tindakan masyarakat dalam pluralitas pengetahuan dan kepentingan, serta adanya kehendak dominan maka terbangun konflik diantara mereka secara fisik maupun tidak. Atau lugasnya bagaimana konflik agama di Ambon Maluku adalah sebagai hasil konstruksi sosial para elit kekuasaan.
Studi Wacana, Dominasi dan Bahasa
Persoalan realitas sosial adalah kepentingan apa dan siapa yang mendominasi di dalamnya. Negara, menurut Berger dan Lukcmann, adalah lembaga terbesar yang paling kuat dalam mengkaselarasikan kepentingan di wilayah publik. Karena negara mempunyai aparat-aparat, seperti birokrasi dan militer yang merupakan pentungan untuk memaksa, maka ia dapat membentuk atau menentukan realitas sosial dalam koridor kepentingan mereka. Tetapi bagaimana bila negara tidak lagi memiliki pusat kekuasaan, dimana kemampuannya semakin kecil dan kehilangan mengontrol ‘pentungannya’?
Kekuatan pada akhirnya akan beralih kepada para penguasa dalam komunitas-komunitas sosial, mereka adalah para elit dalam masyarakat. Elit kekuasaan memiliki kemampuan mengarahkan situasi dan mempengaruhi publik dengan apa-apa yang mereka miliki. Mills (The Powers Elit, 1956) menyebutkkan bahwa elit kekuasaan berada dalam daerah-daerah strategis, yaitu militer, ekonomi, dan politik.
Negara bukan merupakan organ yang sendiri atau tunggal dimana ia berdiri sebagai kesatuan kekuasaan dan kesatuan perwakilan masyarakat namun lebih sebagai presentasi minoritas kelompok yang berkuasa yang mengatur kelompok lebih besar. Para elit menekankan kepentingannya dengan mengelola masyarakat sebagai kekuatan politisnya melalui pembentukan opini, membangun wacana dalam publik, dan melakukan pengorgasiran kelompok-kelompok militan yang mendukungnya. Kaum elit yang berada dalam struktur kekuasaan dapat mengambil keuntungaan dari situasi ini dengan menggunakan media massa sebagai alt indoktrinisasi dan persuasi (Mills, 1956: 243-268)
Ketika elit kekuasaan menyatakan kepentingannya, orang merasa itu juga sebagai kepentingannya sendiri. Posisi dominan kelompok elit di dalam masyarakat melakukan komunikasi politik, dan kemudian terbentuklah suatu pola hubungan memberi dan menerima, artinya bagaimana elit masyarakat menggunakan kekuasaannya kepada kelompok masyarakat, dan bagaimana masyarakat itu menanggapi serta menerima keinginan-keinginan kelompok politik (Suryadi, 1993: 72).
Wacana yang dibangun elit tertanam dalam setiap orang yang mengikutinya, membenarkannya, dan terlibat dalam perdebatan wacana dengan orang-orang lain yang berbeda. Kepentingan para elit dalam wacana itu, yang telah dibenarkan masyarakat grass root, menjadi selaras dengan kepentingan masyarakat tanpa harus menyadari bahwa di balik itu semua telah terjadi penindasan terhadap kepentingan mereka yang sebenarnya. Kondisi ini adalah kondisi alienasi, seperti yang dipikirkan Marx, atau menurut Marcuse (1964) sebagai desublimasi represif. Bagi kalangan posmodernisme hal itu adalah regime of significance yang cenderung melakukan dominasi dan hegemoni makna atas berbagai persitiwa, pengetahuan, kesadaran, dan wacana.
Sebagaimana Foucault melihat bahwa wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran di sini, oleh Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit, bukan juga sebuah konsep yang abstrak. Akan tetapi ia diproduksi, setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkjan tersebut. Di sini, setiap kekuasaan berpretensi mengahasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan (Enriyanto, 2001: 48).
Wacana para elit merupakan suatu pesan politik yang dikemas dengan teknik pemasaran yang sebaiknya dibaca sebagai perembesan nilai komersial ke dalam politik dan perembesan itu, tanpa disadari oleh semua pelaku politik, tiba-tiba sebuah budaya baru muncul, atau lebih tepatnya kerangka besar kolonialisme budaya itu menjadi nyata, dan amat bersifat politis (Subangun, 1999: 46). Kelompok-kelompok politik dan para elit itu menciptakan kerangka besar kolonialisme budaya yang pada dasarnya berusaha mengontrol kehidupan sosial politik masyarakat dan dengan begitu masyarakat kapan pun bisa menjadi perajurit yang mendukung kepentingan mereka tanpa harus membayar dengan apapun terhadap masyarakat.
Wacana yang diproduksi sebagai pemasaran komersil oleh para elit merembes kedalam kesadaran masyarakat dan menciptakan tindakan-tindakan tertentu. Pada gilirannya ketika wacana yang plural, karena adanya para elit yang berbeda-beda kepentingan dan tujuannya itu, dipraktekkan melalui bahasa yang tidak lepas dari kooptasi, dominasi, dan hegemoni sebagai adanya kebudayaan yang mempengaruhi masyarakat. Bahasa bukan semata-mata alat komunikasi atau sebuah nilai yang secara wenang-wenang menunjuk suatu realitas monolitik. Bahasa adalah suatu kegiatan sosial, yang secara sosial, terikat, dikonstruksi, dan dikrekonstruksi dalam kondisi khusus dan social setting tertentu daripada menurut hukum yang diatur secara universal.
Setiap elit memiliki ‘daerah jajahan’ wacananya sendiri, sebagai rezim kebenaran dalam relasi mereka dengan massa dan pada gilirannya kepentingan menjadikan wacana yang merupakan pengetahuan tertentu itu tidak lagi bersifat universal, alias sebagai ideologi. Ideologi memiliki kaitan dengan bahasa, karena bahasa adalah juga sebagai intrumen kekuasaan. Menurut J.B Thompson (1990), dalam bahasalah secara primer makna dimobilisasi dalam kepentingan kelompok maupun individu tertentu. Bahasa kemudian merupakan cara kekuasaan menyampaikan kepentingannya, dan digunakan untuk menggerakkan pemaknaan di bawah benderanya. Setiap kepentingan kelompok-kelompok sosial maupun individu ikut terlibat dalam proses sosial yang menyebabkan perubahan, pergantian, secara terus menerus tanpa akhir dengan bahasa menjadi perjuangan dan alat kepentingan itu sendiri.
Perkembangan selanjutnya ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi, semakin pesat dan banyak dipengaruhi oleh situasi dimana perkembangan itu muncul. Akar teori dari tokoh-tokoh klasik di atas berkembang kedalam mainstream-mainstream sosiologi modern. Kita dapat mencatat tokoh-tokoh sosiologi modern seperti Ralp Dahrendorf (Dialektika Konflik), Lewis Coser (Konflik dan Perubahan Sosial), Talcot Parsons (Teori Sistem), Robert K. Merton (Fungsionalisme Struktural), Herbert Mead (interaksionisme Simbolik), Alfred Szhust (Fenomenologi), Karl Manheim (Sosiologi Pengetahuan), Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (Teori Konstruksi Sosial), Adorno, J. Habermas (Madzab Kritis; teori tindakan komunikatif).
Madzab kritis, terutama dalam pemikiran Juergan Habermas, sering disamakan dengan sosiologi pengetahuan. Terutama dalam penjelasannya tentang hubungan antara sistem pengetahuan dan kepentingan. Walaupun sosiologi pengetahuan tidak memiliki semangat melakukan transformasi sosial sebagaimana semangat madzab kritis. Kepentingan sosiologi pengetahuan menurut Habermas, sebagaimana ia merupakan ilmu yang bersifat historis heurmenitik, adalah komunikasi intersubjektif. Masih banyak lagi tokoh-tokoh sosiologi modern yang mengembangkan teori-teori baru yang berakar pada tokoh-tokoh klasik. Selain itu ilmuwan di era ini seperti Johan Galtung, Ted Gurr, dan Charles Tilly adalah tokoh-tokoh ilmuwan sosial yang menganalisis persoalan konflik sosial.
Pada era ini nama-nama baru yang penting, seperti Johan Galtung dan Charles Tilly (McQuarrie, 1995), melakukan analisis mereka tentang konflik kekerasan yang selain mengembangkan kerangka teori konflik sebelumnya juga telah mengembangkan analisis konflik dalam perhatian mereka di situasi global.
Konsepsi Johan Galtung yang penting adalah pendapatnya tentang hubungan antara kekerasan dengan kekuasaan (Windhu, 1992: 111-117). Kekerasan langsung seringkali didasarkan atas penggunaan kekuasaan sumber (resource power), dan kekerasan struktural yang didasarkan pada penggunaan kekuasan struktural. Kekuasaan sumber dibedakan menjadi kekuasaan punitif yang bersifat menghancurkan, kemudian kekuasaan ideologis dan kekuasaan renumeratif. Baik kekuasaan sumber dan kekuasan struktural saling berkaitan, saling memperkuat.
Galtung mengungkapkan kekerasan struktural dan personal dapat menghalangi untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kebutuhan-kebutuhan dasar ini adalah kelestarian atau keberlangsungan hidup, kesejahteraan, kebebasan, dan identitas. Jika empat kebutuhan dasar ini mengalami tekanan atau kekerasan dari kekuasaan personal dan struktural, maka konflik kekerasan akan muncul ke permukaan sosial.
Jalur sosiologi pengetahuan sendiri sebenarnya tidak merupakan jalur ekslusif yang berseberangan secara total terhadap aliran-aliran penting. Proposisi pemikiran dari Marx, Weber, Durkheim kemudian fenomenologi Szchust sangat berperan sehingga tidak disangkal bahwa sosiologi pengetahuan, terutama konstruksi sosial Berger dan Luckman, adalah usaha meniti dua kutub antara kubu kanan dan kiri.
Sosiologi pengetahuan terutama dalam karya Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966) tentang konstruksi sosial atas kenyataan pada dasarnya secara konseptual adalah usaha untuk menjembatani analisis mikro dan makro, antara teori tindakan dan struktural (Wallace&Wolf, 1986, Poloma, 1993). Sosiologi konflik sendiri pada dasarnya adalah analisis struktural (fakta sosial) yang mengurangi aspek tindakan dan pemaknaan sosial (Turner, 1985). Ini bukan berarti bahwa perbedaan antara sosiologi pengetahuan dengan sosiologi konflik adalah adanya unsur analisis pemaknaan tindakan sosial an sich dalam sosiologi pengetahuan. Perbedaan mendasar yang dapat ditangkap adalah bagaimana keduanya menjelaskan realitas sosial dan bagaimana masyarakat menghadapinya. Sosiologi pengetahuan banyak terlibat dalam proses tersebut.
Sosiologi konflik mempunyai asumsi bahwa masyarakat selalu dalam kondisi bertentangan, pertikaian, dan perubahan. Semua itu adalah sebagai bagian dari terlibatnya kekuatan-kekuatan masyarakat dalam saling berebut sumber daya langka dengan menggunakan nilai-nilai dan ide (Ideologi) sebagai alat untuk meraihnya (Wallace&Wolf, 1986). Hal ini sama dengan asumsi sosiologi pengetahuan Berger dan Luckmann yang menyebutkan adanya momen dialektis dalam masyarakat yang melibatkan kelompok-kelompok kepentingan dan ideologi. Dahrendorf menyebut analisisnya dengan konflik dialektis yang menjelaskan proses terus menerus distribusi kekuasaan dan wewenang di antara kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association). Sehinga kenyataan sosial, bagi Dahrendorf, merupakan siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi dari sistem sosial (Turner, 1985).
Sosiologi pengetahuan Berger dan Luckmann pun mempunyai pendapat yang sama bahwa masyarakat selalu berada dalam proses dilaketis yang meliputi tiga proses simultan, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Hanya saja studi konflik banyak melibatkan penjelasan struktural tanpa bersedia menjelaskan lebih lanjut bagaimana konflik dalam masyarakat terbentuk dengan proses-proses sosial yang mereka mereka miliki. Komitmen sosiologi konflik adalah studi sosiologi yang melihat gejala sosial dengan suatu jawaban kokoh dan tidak mencari jawaban historis yang bisa bersifat lain antara ruang kejadian satu dengan ruang yang lain.
Peta teori sosiologi konflik yang berelief Dahrendorf, Coser, Charles Tilly, Johan Galtung, sampai Ted Gurr yang mewakili tradisi positivisme, dan corak madzab kritis begitu dominan dalam lingkungan akademis. Sosiologi pengetahuan, terutama pemikiran konstruksi sosial atas kenyataan Berger dan Luckmann (1966/1990), masih harus mengembangkan dirinya. Menapaki masyarakat konflik dengan teori konstruksi sosial adalah hal baru di lingkungan akademis Indonesia, sehingga cukup menarik jika melihat fenomena konflik dari sini.
Jumat, 11 September 2009
Teori Sosiologi dan Antropologi
Diposting oleh Ayu Humairoh di Jumat, September 11, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar