BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Minggu, 06 Desember 2009

Indonesia Tak Butuh Iblis

Indonesia Tak Butuh Iblis
* Oleh: Ayu Humairoh
Dalam kehidupan politik dan kebudayaan di Indonesia sering disebut-nyebut kata iblis, sebagaimana sering juga disebut-sebut kata setan, malaikat, dajjal, atau hantu, monster, gendruwo, dll.
Orang menyebut iblis atau setan biasanya tidak untuk menuding iblis atau setan itu sendiri, melainkan untuk memberi gelar kepada sesama manusia. Pada hakekatnya hanya kelembutan pandangan Allah yang paling mampu dengan detail menakar berapa prosentase kefir’aunan hambaNya. Adapun manusia, sejauh-jauh prestasinya hanyalah perjuangan untuk berendah hati di dalam kesadaran bahwa setiap hamba Allah yang bernama manusia memiliki potensi kefir’aunan dan potensi ke-Musa-an atau ke-Muhammad-an di dalam dirinya masing-masing. Dengan kata lain, Fir’aun, Musa, Muhammad, Malaikat dll. bisa kita pahami sebagai potensialitas kejiwaan pada diri manusia, dan tidak harus merupakan oknum atau pribadi. Ketika Musa diperintahkan oleh Allah agar mendatangi Fir’aun untuk menanyakan apakah RajaLela itu mau membersihkan diri atau tidak bisa kita maknai bahwa potensi Musa kita mendatangi potensi Fir’aun kita sendiri untuk menyampaikan tawaran
gratis dari Allah itu. Akan tetapi bisa jadi hasil penilaian kita tidak seratus persen sama dengan al-lathif, Yang Maha Lembut itu. Yang kita ketahui hanya satu, yang tak kita ketahui tak terhingga jumlahnya. The real judge adalah Allah swt. Kita mungkin tidak pernah siap untuk melihat dan menerima kenyataan bahwa seseorang yang ‘kita nikmati dalam kebencian’ dan kita sebut iblis, ternyata bisa juga ingin memperbaiki diri. Lebih tidak siap lagi membayangkan bahwa ia bertobat. Kita memerlukan orang jahat tetap sebagai orang jahat, demi kelegaan hati kita. . Tetapi tidak saya persoalkan apakah pemakaian kata-kata iblis dll. itu berangkat dari hubungan-kesadaran, sampai ke etimologi dan teologi, ataukah sekedar pinjam istilah. Sebagaimana Pancasila dan UUD-45 menyebut kata ‘Tuhan’ dan ‘Allah’ bisa jadi sekedar oper idiom, karena kemudian di dalam praksis kehidupan bernegara kita tidak lagi penting apakah Tuhan dan Allah dijadikan rujukan utama atau tidak bagi kemungkinan makhraj (solusi) dari masalah-masalah yang menimpa. Yang paling menarik kali ini adalah bahwa ternyata kita di Indonesia sama sekali tidak butuh iblis.
Cobalah kita kuliti sejumlah perbedaan antara kita dengan iblis, umpamanya. Sebagaimana beda kita dengan binatang sangat jelas: kalau macan sudah makan kambing dan kenyang, maka ia bisa tidur damai dengan ratusan kambing, sampai ia lapar kembali dan memakan hanya seekor lagi seperti di-sunnah-kan olehNya.
Sementara kita, meskipun sudah punya lima proyek besar, masih terus sanggup mengambil puluhan proyek lain. sehingga hancurlah Orde Baru. Manusia dipinjami kemerdekaan dan demokrasi, dan ia mengerjakannya belum tentu dengan kedewasaan dan nurani kemanusiaan, malah kebanyakan dengan nafsu dan rasa ingin memiliki yang tak ada batasnya. Semoga rencana-rencana kekuasaan, melalui sekian banyak partai-partai politik, tidak bermuatan hal semacam itu. Kalau orang bertanya: partai politik itu ingin kebaikan atau kemenangan? Ataukah ingin kemenangan untuk memperjuangkan kebaikan? Kalau yang terasa dominan adalah nafsu untuk menang, maka adanya muatan semacam itu sangat kita khawatirkan.
Semoga kemenangan parpol ialah kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Kalau kemenangan parpol adalah hanya kemenangan parpol itu sendiri, akan tetap celakalah nasib rakyat.
Keserakahan, nafsu, rasa serba tak cukup, watak api. itu jelas watak utama iblis yang diajarkan kepada manusia. Bahkan niat baikpun bisa menjelma jadi napsu.
Cukup banyak bukti bahwa di negeri ini kita tak memerlukan ajaran iblis lagi untuk ‘sekedar’ berlaku rakus kepada dunia. Sehingga, sebagaimana Adam yang jatuh derajatnya dari surga ke bumi, kitapun sama jatuhnya kehormatan kita, serta kebangsaan kita dari kemewahan ke krismon dan kristal (krisis total). Iblis tidak pernah merasa dirinya benar, dirinya baik, dirinya suci. Sementara kita memiliki kecenderungan yang sangat besar untuk merasa benar, merasa baik dan merasa suci, sehingga orang lain yang kita tuduh harus bertobat, itupun kita larang ia bertobat. Padahal kita ketakutan setengah mati kalau ia tidak bertobat sehingga mengamuk.
Dalam hal melarang manusia bertobat, kita sama dengan iblis. Tapi dalam hal memahami konsep tobat, iblis unggul dari kita. Kita tidak tahu bahwa pertobatan kepada Allah dipersyarati oleh keberesan masalah dengan sesama manusia. Artinya kalau punya hutang, harus bayar dulu, kalau bersalah, dihukum dulu oleh manusia, baru Allah membuka pintu ampunannya. Kita tidak tahu itu, sedang iblis tahu persis.
Iblis, sesudah menggoda manusia dan menjerumuskannya agar dibakar oleh kobaran api dari dalam nafsunya sendiri, berkata kepada Tuhan: “Wahai Tuhan, sesungguhnya aku sendiri takut kepadaMu”. Sementara pada kita sangat sedikit indikator bahwa kita takut kepada Tuhan. Kita berani mengabaikan pembelaan Tuhan atas rakyat kecil. Kita bisa mendustai mereka berpuluh tahun.
Kita bahkan sanggup menyalurkan bantuan makanan kepada rakyat sambil mencopetnya. Kita tega mengumum-umumkan obsesi pribadi kita akan kekuasaan di depan rakyat yang sangat mengalami kesulitan hidup. Kita bisa dengan ringan menutup telinga bahwa bagi rakyat hanya tiga hal yang prinsip: hidup aman, sembako murah, bisa menyekolahkan anak. Tentang presidennya siapa, silahkan mau siapa saja. Dalam hatinya rakyat berpedoman: yang penting bukan ‘siapa’nya, melainkan apa produk positifnya untuk kesejahteraan rakyat. Mohon bikin metodologi riset atau pendapat yang bertanggung jawab terhadap kandungan substansial kemauan rakyat banyak, bukan hanya omongan beberapa puluh orang di sekitar kantor kita. Iblis dan setan, sesombong-sombongnya mereka, setakabur-takaburnya mereka, seratus persen sadar bahwa mereka melakukan kejahatan dan perusakan. Mungkin karena itu tidak kepada iblis dan setan, melainkan kepada manusia. Manusia sanggup menjadi pemimpin karena modal utamanya adalah rasa bersalah telah berbuat zalim, belum bisa menolong orang lain, sehingga ia senantiasa mendorong diri untuk berbuat sebaik-baiknya. Modal utamanya adalah sanggup merasa bodoh, tidak pinter, tidak unggul dari siapapun. sehingga ia selalu berendah hati untuk belajar.
Tidak ada ceritanya masyarakat iblis dan setan bertengkar satu sama lain, sebagaimana kita manusia selalu dan terus menerus bertengkar memperebutkan khayal masing-masing, mempertahankan benernya sendiri (kefir’aunan) terus menerus, memerlukan kehinaan saudaranya sendiri untuk mendapatkan kejayaan, membutuhkan kehancuran sesama manusia untuk memperoleh yang ia sangka kehormatan.
Alhasil Indonesia benar-benar tidak butuh iblis atau setan, sebab potensialitas keiblisan, kesetanan dan kefir’aunan kita, pada sejumlah hal, sudah melebihi setan, iblis dan fir’aun yang asli.
* Penulis: Seorang Mahasiswi Semester 1 Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

0 komentar: