Koin Untuk Prita Mulyasari
* Oleh : Ayu Humairoh
Jika ada orang yang begitu sedih sekaligus bahagia pada hari-hari ini, salah satu orang itu adalah Prita. Prita, seorang ibu yang sedang berpolemik dengan Rumah Sakit Omni Internasional Jakarta gara-gara dia mem-posting email tentang pelayanan buruk rumah sakit itu, diancam denda Rp 204 juta dalam putusan perdata kasus pencemaran nama baik.
Uang 204 juta bagi seorang karyawan biasa seperti Prita tentu sangat besar jumlahnya, belum tentu dia punya uang sebanyak itu, dan tentu saja dia tidak sanggup untuk membayarnya. Namun, masyarakat pun terusik dengan kasus ini, yang dianggap sebagai sebuah bentuk rasa ketidakadilan. Maka, entah siapa yang memulainya, tiba-tiba ada saja yang mempunyai ide untuk mengumpulkan koin uang receh untuk Prita. Gerakan yang dinamakan “koin untuk Prita” itu mengalir seperti air bah. Masyarakat, mulai dari anak-anak, remaja, orangtua, hingga pemulung pun rela menyisihkan uangnya untuk mencukupi denda 204 juta itu. Gerakan mengumpulkan koin itu akan ditutup tanggal 14 Desember yang lalu, namun dipercaya jumlah yang terkumpul akan jauh lebih besar dari 204 juta, sebab para pengusaha, anggota dewan, dan anggota DPD, dan masih banyak lagi, ikut turun tangan memberi bantuan dalam jumlah puluhan juta. Pengusaha Fahmi Idris saja menyumbang 70 juta.
Nah, sekarang kasus ini sedang dibawa ke Mahkamah Agung karena Prita melakukan kasasi. Jika sangsi denda ini disetujui oleh MA, maka Prita tidak perlu resah sebab uang 204 juta bakal tersedia, bahkan lebih. Jika sangsi denda dibatalkan MA, maka uang yang terkumpul itu tetap akan diberikan kepada Prita. Sebagian besar warga masyarakat yang menyumbang koin serta yang memberikan dukungan moral kepada Prita tidak kenal siapa itu Prita. Mereka hanya tahu dari media saja. Apa yang menyebabkan mereka mau memberikan uangnya untuk membantu Prita? Rasa ketidakadilanlah yang menyebabkan dukungan itu mengalir seperti air bah. Masyarakat melihat seorang ibu rumah tangga tidak berdaya melawan sebuah rumah sakit mewah yang membawa kasus ini ke pengadilan. Prita memang tidak sepenuhnya benar, dia juga ada kesalahan karena dia tidak menyadari bahwa sebuah email jika masuk ke milis, tidak ada jaminan email itu akan beredar di milis itu saja. Anggota milis bisa saja mem-forward email itu ke milis lain karena isi email tersebut dianggap sebagai sebuah fakta menarik yang perlu diketahui orang lain. Seperti kita sendiri, yang kadang-kadang menerima email dari sebuah milis, lalu karena email ini dianggap menarik, tanpa pikir panjang email tersbeut kita teruskan ke milis lain. Karena itu, memang penting dibuat aturan etika dalam sebuah milis bahwa setiap email di dalam milis bersifat tertutup dan tidak dibenarkan untuk diteruskan ke orang yang bukan anggota milis. Inilah fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini, yaitu derasnya dukungan moral dan materil dari masyarakat kepada orang-orang yang mengalami ketidakadilan masalah hukum. Masyarakat tidak kenal siapa orang-orang yang “tertuduh” itu, namun masyarakat berpihak dan mendukung mereka. Masih ingat kasus Bibit-Chandra kan? Jutaan fesbuker melakukan gerakan moral dengan memberikan dukungan kepada kedua orang ini (dan KPK) melalui media facebook. Ini belum termasuk ratusan ribu orang yang melakukan aksi demo untuk mendukung mereka. Padahal, sebagian besar pendukung tidak kenal siapa itu Chandra, siapa itu Bibit. Orang mendukung Chandra dan Bibit karena kedua orang ini dianggap “korban” kesewang-wenangan kepolisian, dan masyarakat sudah terlanjur mempunyai stigma negatif kepada polisi disebabkan pengalaman buruk yang mereka alami setiap berurusan dengan polisi. Dalam waktu yang bersamaan muncul pula kasus nenek Minah yang dituduh mencuri tiga buah kakao. Kasus ini dibawa ke pengadilan oleh perusahaan penanam kakao, dan nenek Minah dijatuhi hukuman kurungan (namun hukuman kurungan tidak perlu dijalani karena nenek Minah sudah tua dan dianggap tidak akan melarikan diri). Warga masyarakat yang simpati dengan kasus nenek Minah kembali merasa terusik dengan ketidakadilan ini. Mereka mendukung nenek Minah dan mengumpulkan uang receh untuk membantu nenek itu. Kecaman mengalir kepada perusahaan penanam kakao, sebab mengapa kasus yang sepele itu perlu dibawa ke pengadilan? Tidakkah diselesaikan secara kekeluargaan saja? Dimana rasa keadilan kepada orang-orang kecil itu? Masyarakat menilai polisi begitu cepat bereaksi jika kasus-kasus hukum menimpa orang kecil, namun terkesan lamban jika kasus hukum itu melibatkan orang penting. Itulah orang Indonesia, mudah berempati, namun mudah pula melupakan kembali peristiwa yang telah terjadi. Ada banyak peristiwa drama yang akan terus terjadi di negeri ini, dan seharusnya setiap peristiwa dijadikan pelajaran untuk tidak terulang dan terulang lagi. Bangsa ini perlu belajar dari kisah-kisah yang terjadi di masa lalu.
* Penulis: Seorang Mahasiswi Semester 1 Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Jumat, 18 Desember 2009
Koin Untuk Prita Mulyasari
Diposting oleh Ayu Humairoh di Jumat, Desember 18, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar